OPINI

Penyerapan Tenaga Kerja di Alor

106
×

Penyerapan Tenaga Kerja di Alor

Sebarkan artikel ini

Poto—-)Rahmad Nasir, M.Pd.                   Staf Pengajar STKIP Muhammaddiyah Kalabahi

(Suatu Catatan Reflektif)                         Oleh : Rahmad Nasir, M.Pd.                     Staf Pengajar STKIP Muhammaddiyah Kalabahi.

Penyerapan tenaga kerja hampir di seluruh Indonesia selalu dikeluhkan. Daerah-daerah Jawa terutama di kota-kota besar paling tidak menyediakan banyak lowongan pekerjaan. Hal ini dikarenakan banyak perusahaan swasta yang menjamur di kota sehingga membutuhkan banyak tenaga kerja. Selain itu juga menjamurnya industri kecil menengah yang tidak kalah hebat menyerap tenaga kerja. Isu tenaga kerja sering menjadi isu seksi saat momentum-momentum politik dalam rangka meraih simpati rakyat sebagai pemilih. Masalah ketenagakerjaan adalah masalah kesejahteraan. Pola pikir kota menyediakan banyak pekerjaan pun akhirnya menemui masalah baru yakni berbondong-bondong orang melakukan urbanisasi ke kota demi mencari peruntungan atau mengubah nasib menjadi lebih baik. Terkadang harapan yang besar tak berbanding lurus dengan kenyataan. Melihat beberapa orang sukses lalu menjadikan motivasi bagi yang lain untuk juga merantau, ternyata tidak semudah yang dibayangkan. NTT sebagai salah satu propinsi di wilayah timur Indonesia mempunyai tantangan tersendiri. Propinsi ini konon dijuluki sebagai propinsi PNS, artinya PNS seakan menjadi harapan satu-satunya pekerjaan masyarakat di sini. Apalagi jika pikiran masyarakat dengan menyekolahkan anaknya dengan salah satu tujuan utamanya adalah menjadi PNS. Pemahaman tentang teori human kapital dalam pendidikan bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang akan berbanding lurus dengan pendapatan agaknya tidak selamanya benar jika melihat beberapa fakta lapangan, tentu ini tidak bisa digeneralisir dengan sesimpel itu. Tantangannya sekarang adalah dengan adanya moratorium PNS oleh pemerintah membuat masalah baru jika harapan bekerja ingin menjadi PNS. Dalam setahun berbagai universitas di NTT bisa mewisudakan mahasiswanya sebanyak dua atau tiga kali dengan  satu kali wisuda bisa memproduk ribuan sarjana. Bisa dibayangkan bagaimana kompetisi para sarjana menganggur di masyarakat begitu ketatnya. Tentu yang bisa terserap ke dalam instansi swasta maupun negeri, isunya salah satu faktor diantaranya adalah memiliki “orang dalam”. Orang dalam seakan menjadi salah satu persyaratan tak tertulis namun memiliki pengaruh yang kuat terhadap diterima tidaknya seseorang dalam lingkungan pekerjaan. Jika tidak memiliki orang dalam maka pilihannya adalah kualitas profesionalitas ditambah dengan faktor kebutuhan instansi bersangkutan.

Terkadang orang patut berhitung bahwa biaya kuliah begitu mahal, namun belum tentu terserap secara cepat ke dunia kerja, jika pun terserap honor/gajinya jauh dari harapan jika dibandingkan dengan biaya kuliah. Apa boleh buat, jika tidak bersedia maka silahkan mundur karena masih banyak yang sedang menunggu antrian untuk bekerja di tempat tersebut. Pada akhirnya para teolog hanya memberikan motivasi bahwa bersyukur saja dengan apa yang ada karena masih banyak yang belum memiliki pekerjaan seperti yang anda miliki saat ini. Hidup itu memang harus melihat ke atas dan ke bawah secara proporsional. Kondisi ini setidaknya bisa menggambarkan kenyataan dunia ketenagakerjaan di Kabupaten Alor sebagai kabupaten senior di NTT. Coba anda tanya berapa gaji guru honorer? Berapa bulan mereka menerima sekali? Saya bahkan tak berani menuliskan nominalnya sejak saya melakukan diskusi ringan dengan beberapa guru honorer. Demikian juga dengan tenaga lepas sukarelawan di instansi-instansi pemerintah Alor. Jika dikalkulasikan bisa saja biaya transportasi PP sehari-hari selama sebulan ke tempat kerja sama dengan atau lebih dari honor yang diterima. Pertanyaannya adalah bagaimana membiayai hidup dirinya dan keluarganya?. Beberapa alasan pun akan muncul bahwa APBD Alor tak mampu mengkover semua itu dengan bilangan pembagi yang besar. Apakah upah buru di Alor diatur dan diimplementasikan secara tegas sebagaimana UMR di tingkatan propinsi NTT?. Kadang-kadang saya malah berfikir, mungkin gagasan GERBADESTAN yang dahulu pernah digalakkan penting untuk dipertimbangkan lagi. Masyarakat bisa bertani dan beternak serta berbagai pekerjaan di Desa dalam konsep yang lebih efektif dan efisien.

Kondisi ini membuat seorang guru harus mencari tambahan penghasilannya di luar dengan pekerjaan sampingan, demikian juga dengan seorang tenaga lepas sukarelawan di dinas-dinas. Jika demikian maka fokus kerja dan profesionalisme kerja akan terganggu secara otomatis. Maka bagaimana bisa diharapkan kualitas pendidikan di Alor akan semakin baik? Atau penyelenggaraan pemerintahan di Alor semakin baik?. Lalu apa sebenarnya yang harus dilakukan oleh pihak pemerintah sebagai hamba atau pelayan rakyat. Demikian juga bagaimana seharusnya rakyat berikhtiar untuk merasakan hidup lebih layak?.

Beberapa aktivis semasa kuliahnya yang dengan penuh idealismenya harus berbenturan dengn realitas sebagaimana yang dibayangkan selama ini. Saat menjadi alumni kampus, semua terasa berbeda karena dunia masyarakat adalah kehidupan yang sesungguhnya. Dengan adanya program dana desa dari pemerintah pusat sedikit tidaknya telah cukup menyerap banyak tenaga kerja, demikian juga dengan program Anggur Merah dari pemerintah propinsi NTT serta program Gema Mandiri. Pertarungan untuk lolos menjadi tenaga pendamping pun tidak segampang yang dipikirkan. Penyerapan tenaga kerja dalam program-program semacam ini juga tidak permanen karena akan sangat bergantung pada siapa rezim yang berkuasa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *