Oleh : Rahmad Nasir, M.Pd
(Staf Pengajar STKIP Muhammadiyah Kalabahi)
Sudah sebulan penuh umat Islam melaksanakan ibadah puasa (shaum), bulan yang dianggap penuh berkah, keistimewaan serta memiliki berbagai faedah bagi umat Islam dalam rangka meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT. Sebagai bulan latihan tentu hasil dari latihan sebulan harus terimplementasi dalam kehidupan di luar bulan Ramadhan, jika tidak maka manusia hanya berlaku hipokrit terhadap Ramadhan. Ramadhan hanya dijadikan sebagai momen cuti melakukan kemungkaran/dosa, dengan demikian maka Tuhan hanya bisa tertawa melihat kelakuan manusia seperti ini. Hal ini sebagaimana disinyalir sebuah hadis bahwa banyak orang berpuasa namun hanya sekedar mendapatkan pahala lapar dan dahaga.
Ibadah puasa langsung dinilai Allah, sehingga jenis ibadah ini sangat unik karena hanya Allah yang menjadi saksi keseriusan dan kekusyu’an seorang hamba menjalankan puasa. Manifestasi dari pemaknaan puasa juga harus konteks dengan kondisi zaman kekinian sehingga menjadi ibadah sosial yang mampu memberi dampak konkrit bagi kemanusiaan baik secara lokal, nasional maupun global. Kini umat Islam dihadapkan pada problem stigma negatif yakni “radikal” dan “teroris”. Stigma ini bahkan mendunia termasuk Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Pertanyaannya adalah apakah ada yang salah dengan doktrin ajaran Islam?, apa mungkin problemnya adalah perbedaan tafsiran terhadap dogma-dogma teologi Islam?, ataukah memang ada kemungkinan kelompok-kelompok tertentu yang tidak suka terhadap Islam sehingga memainkan propaganda ini secara masif dan teratur?. Jika saja benar untuk pertanyaan yang ketiga, apalagi ditambah dengan lengahnya umat Islam terhadap propaganda tersebut maka lengkaplah sudah penderitaan Umat Islam dengan label ini.
Apa yang harus dilakukan umat Islam untuk menepis anggapan yang tak berdasar itu?. Umat Islam harus membangun kesadaran dalam diri tentang kepercayaan dirinya bahwa tidak ada ajaran hakiki Islam yang mengajarkan untuk saling membunuh tanpa alasan yang masuk akal. Umat Islam tidak sekedar berkomitmen secara kesadaran namun perlu menunjukkan melalui tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari. Semua itu telah dicontohkan secara jelas oleh junjungan Muhammad SAW sebagai suritauladan yang baik bagi umat manusia. Pada saat-saat tertentu Nabi Muhammad sangat lembut, namun pada saat yang lain misalnya terkait hal-hal yang sangat prinsipil Muhammad SAW sangat tegas pendiriannya. Saya kira seorang Michael H. Hart pun mengakui figur Muhammad SAW dalam karyanya “100 Tokoh yang paling berpengaruh di dunia” bahkan menempatkan Muhammad SAW pada urutan pertama, demikian juga dengan Karen Amstrong dalam karyanya “Muhammad Sang Nabi Sebuah Biografi Kritis”. Contoh yang paling konkrit agar manusia harus melawan/mempertahankan diri apabila diserang karena pilihannya cuma dua jika tidak melawan maka akan mati sia-sia, namun jika melawan ada dua kemungkinan yakni mati syahid demi mempertahankan kebenaran ataukah menang secara kesatria. Kebenaran yang dimaksudkan bukan sekedar faktor teologi, namun jika ada oknum umat Islam yang berbuat kemungkaran terhadap kemanusiaan maka harus dilawan/diberantas secara tuntas.
Islam tak mengajarkan untuk mencari musuh terlebih dahulu, akan tetapi sekedar bertahan atau melawan jika diserang. Peperangan tempo dahulu yang memakai tombak, pedang dan anak panah dengan kenderaan kuda dan unta. Setelah itu dalam perang dunia I maupun II peperangan telah menggunakan senjata canggih rudal, nuklir dan peralatan tempur lainnya. Kini peperangan telah menemukan bentuk terbaru adalah perang wacana, perang media, perang virus, perang propaganda, perang ideologi yang dirasakan lebih berbahaya dari perang fisik.
Sering banyak yang terjebak pada simbolisasi, misalnya saat seseorang memakai sorban putih yang panjang, berjenggot, celana cingkrang, memakai tasbih dan simbol-simbol sejenis lainnya membuat alam fikiran manusia langsung berfikir menghakimi bahwa ini adalah kaum fundamentalis, vatalis, ekstrimis dan ekstrimnya bahwa inilah teroris, semua karena sindrom Islamphobia telah terlanjur viral. Penilaian manusia tidak boleh hanya sebatas simbol semata karena bisa saja teroris datang dari penampilan yang biasa-biasa saja bahkan mungkin menggunakan pakaian modern seperti jaz dan pakaian mewah lainnya. Defenisi tentang teroris agaknya belum mencapai kata sepakat antara golongan/komunitas dunia karena masing-masing berdiri di atas sudut pandang dan kepentingannya masing-masing. Pertanyaannya adalah saat pembunuhan dan pengusiran warga Rohingya di Birma, masyarakat Palestina dan kawasan Timur Tengah, apakah bisa dikategorikan sebagai tindakan teroris?. Sementara antara pihak-pihak yang bertikai mungkin meyakini kebenaran versi masing-masing atas tindakan mereka. Ini pertanyaan yang masih belum bisa dijawab.