Aku menggenggam tangan keriputnya. Aku berusaha menghiburnya dan mengajaknya untuk melakukan hal yang tak pernah aku lakukan. Ia mengangguk dan mengembangkan senyum.
Sebenarnya ada ketakutan luar biasa yang aku rasakan. Sebab, telingaku mampu menangkap riuhnya gemuruh arus yang memekakan telingaku.
“Hei, Anak. Kenapa anak pung merah begitu?”
Aku hanya diam dan berusaha menutup segala ketakutanku.
“Apakah ia mampu membaca fikiranku atau ia telah tahu, jika arus yang begitu deras membuat kelakianku menciut”, batinku, sengaja tak dengar apa yang ia tanyakan.
Kami menurunkan perahu berukuran kecil yang selalu ia tepikan di belakang sekolah tempatku mengajar. Meski tubuh perkasanya telah termakan usia, ia begitu cekatan melewati bebatuan licin.
“Anak. Hati-hati!” ujarnya
Aku hanya menganggukkan kepala dan tak mengeluarkan suara. Aku tak ingin berbicara lebih banyak. Sebab, kecamuk resah menggerayangi fikiranku. Aku hanya menuruti setiap apa yang ia perintahkan.
***
“Ni hari ikan banyak e, Bai?” tanyaku, dengan nafas yang tersandung ditenggorokan, sebab kami harus mengangkat perahu ukuran kecil itu dan meletakkannya kembali di tempat semula.
Ia meperlihatkan giginya. Dari binar matanya tersirat berjuta kebahagiaan yang aku temukan. Setidaknya aku merasakan bahagia yang luar biasa karena aku mampu membuatnya tersenyum bahagia.
“Ini anak pung bagian.”
Ia menyodorkan beberapa ekor ikan kepadaku.
“Bai bawa pulang saja, nanti baru Anak datang di rumah ko makan sama-sama deng Bai,” tolakku.
“Tidak apa-apa, Anak. Anak bawa pulang ko buat tanglahing)* ju bae,” paksanya.
“Sudah, Bai. Bai bawa pulang ko kasih Memet masak baru anak pi makan sama-sama deng Bai dong.” tolakku lagi.
“Yo, itu ju bae. Tapi betul anak datang makan e?”
Aku mengiyakan permintaannya, seiring langkah kaki kami berpisah di bibir pantai, yang arusnya masih terdengar bergemuruh riuh seolah bersenandung tentang kebahagian pak tua bernama Bai Niko.
S E L E S A I
Pulau Pura, 20 Desember 2014
Penulis : Yasir Arafat Stalin