Keduabelas angka delapan selalu menyiratkan makna,
Entah kenikmatan Kopi
Atau sepat diujung ampasnya
“Dirimu”
Dibalik prosa pada rangkaian musim yang silam.
Namun sayang, aku terlanjur menghapus semua itu,
Sebelum menjelma butiran debu,
Bahkan sebelum sempat menuliskannya.
Agar tidak melaknat dalam sesal berkepanjangan
Tentang tapak kakimu yang membekas ditiap jejakku
Yang kujaga agar tidak terhapus tapak kaki yang lain.
Waktu berlari teramat lambat
Dan Senja yang selalu merangkak diatas malam,
Sebelum menjelma jelaga,
Selalu kaususun kembali ;
Membakarku dalam jerat api yang panasnya kucintai
Kala kau pernah tertidur dalam mimpimu
Senja itu pergi tanpa pamit,
Sedangkan aku masih menenun kasih,
Meratapi lara dan mencintai jingganya
Sebelum rindu yang menderu
Membuat malamku terlalu panjang untuk diselesaikan.