“Salam Toleransi dari Negeri Seribu Pulau”
“ Tidak Penting Apapun Agama atau Sukumu, Kalau Kamu Bisa Melakukan sesuatu Yang Baik Untuk Semua Orang, Orang Tidak Pernah Tanya Apa Agamamu (Gusdur)”
Semboyan “Bhineka Tunggal Ika” yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu menjadi bukti nyata bahwa sejak zaman dahulu Bangsa Indonesia merupakan Bangsa yang majemuk yang terdiri dari bermacam suku bangsa, budaya, ras dan agama.
Konsep masyarakat majemuk (plural society) pertama kali diperkenalkan oleh Furnivall (1948) yang mengatakan bahwa ciri utama masyarakatnya adalah berkehidupan secara berkelompok yang berdampingan secara fisik, tetapi terpisah oleh kehidupan sosial dan tergabung dalam sebuah satuan politik.
Usman Pelly (1989) mengkategorikan masyarakat majemuk di suatu kota berdasarkan dua hal, yaitu pembelahan horizontal dan pembelahan vertikal. Secara horizontal, masyarakat majemuk, dikelompokkan berdasarkan:
(1). Etnik dan ras atau asal usul keturunan.
(2). Bahasa daerah. (3)Adat Istiadat atau perilaku.
(4). Agama.
(5). Pakaian, makanan, dan budaya material lainnya.
Sedangkan secara vertikal, masyarakat majemuk dikelompokkan berdasarkan:
(1). Penghasilan atau ekonomi.
(2). Pendidikan.
(3). Pemukiman.
(4). Pekerjaan.
(5). Kedudukan sosial politik.
Indonesia dikenal dengan kemajemukan masyarakat, sesungguhnya memiliki arti dan peran strategis bagi masyarakat Indonesia. Meski demikian, secara bersamaan kemajemukan masyarakat itu juga bersifat dilematis dalam kerangka penggalian, pengelolaan, serta pengembangan potensi bagi bangsa Indonesia untuk menapaki jenjang masa depannya.
Kondisi masyarakat yang majemuk jika berjalan serasi dan harmonis akan membantu bangsa Indonesia untuk maju dan berkembang bersama. Sebaliknya, jika kemajemukan masyarakat tersebut tidak dikelola dengan baik, maka akan menyuburkan berbagai prasangka negatif (negative stereotyping) antar individu dan kelompok masyarakat yang akhirnya dapat merenggangkan ikatan solidaritas social bahkan mungkin terjadi konflik sosial.
Pengaruh kemajemukan masyarakat yang perlu diperhatikan karena dapat menimbulkan konflik sosial adalah munculnya sikap primordial (primordialisme) yang berlebihan dan stereotip etnik. Toleransi berasal dari bahasa latin “tolerantia” yang berarti kelonggaran, kelembutan hati, keringanan dan kesabaran. Secara etimologis istilah “tolerantia” dikenal dengan sangat baik di dataran Eropa, terutama pada Revolusi Perancis. Hal itu terkait dengan slogan kebebasan, persamaan dan persaudaraan yang menjadi inti Revolusi Perancis.
Toleransi atau sikap toleran diartikan sebagai sikap menghargai terhadap kemajemukan. Dengan kata lain sikap ini bukan saja untuk mengakui eksistensi dan hak-hak orang lain, bahkan lebih dari itu, terlibat dalam usaha mengetahui dan memahami adanya kemajemukan (Djohan Efendi ). Dengan demikian toleransi dalam konteks ini berarti kesadaran untuk hidup berdampingan dan bekerjasama antar pemeluk agama yang berbeda-beda.