NASIONAL

Masalah Papua Cuma Bisa Selesai oleh Jokowi & Dunia Internasional

230
×

Masalah Papua Cuma Bisa Selesai oleh Jokowi & Dunia Internasional

Sebarkan artikel ini

Mahensa Express.Com- Pendeta Ishak Onawame dari Gereja Kemah Injil Indonesia (Kingmi) di Tanah Papua Klasis Mimika mengatakan kepada redaksi Tirto bahwa ketegangan di Tembagapura—sekitar dua jam dari Kota Timika—hanya bisa diselesaikan lewat pemerintah pusat dan dunia internasional.

Dia bilang, apa yang terjadi antara TNI-Polri dan TPN-OPM di wilayah pertambangan Freeport Indonesia bukan kali ini saja. Sejak ia ditempatkan di Mimika pada 1980-an, penembakan di sepanjang jalan utama Timika-Tembagapura selalu dalam intensitas naik-turun—kadang tembakan terjadi sekali, tetapi kadang lima kali dalam sebulan.

Karena itu, masalah di Tembagapura tak bisa diselesaikan lewat persuasi pihak keamanan Indonesia. Sebabnya, masalah tersebut terkait tuntutan sejarah politik Papua.

“Dorang tuntut kedaulatan hak Papua, bukan karena hal-hal lain,” ia bilang. “Masalah ini tidak akan pernah berhenti. Terus-menerus. Satu peristiwa selesai, besok akan muncul peristiwa yang sama.”

Dikutif dari tirto.id, “Sejak awal Agustus hingga hari ini, dari sumber yang menghimpun eskalasi peristiwa di Mimika yang diterima redaksi Tirto, setidaknya sudah terjadi 12 kali penembakan. Pelakunya diklaim oleh polisi sebagai “orang tak dikenal”. Belakangan mulai muncul sebutan “kelompok kriminal bersenjata” yang lantas diamplifikasi oleh pers.

Penembakan terbaru terjadi pada Selasa pagi ini, sekitar pukul 08.00 waktu Papua. Tembakan mengarah ke kendaraan PT Puncak Jaya Power, perusahaan pemasok listrik untuk PT Freeport Indonesia, di areal antara Mile 68 dan Mile 72. Menurut keterangan polisi, insiden ini mengakibatkan seorang karyawan bernama Raden Totok Sadewo mengalami luka pada paha kanan.

Satu peristiwa penembakan dramatis terjadi pada 22 Oktober lalu, dan menewaskan seorang personel Brigade Mobil. Dampaknya adalah munculnya konsentrasi penjagaan di areal Tembagapura, tempat Freeport beroperasi.

“Freeport juga tidak bisa kerja dengan aman,” ujar Onawame, yang tinggal di Timika.

Menurut Onawame, situasi baku tembak antara Polri-TNI dan TPN-OPM harus mematuhi wilayah medan “perang”, sehingga bisa menghindari nyawa warga sipil.

“Kedua, Amerika Serikat, yang punya kepentingan, dan pemerintah Indonesia dengan Presiden Jokowi, harus bisa selesaikan masalah ini secepatnya.”

Ada sebuah teori yang bisa dipakai terkait hal ini. Sejalan aktivitas pertambangan Freeport pada 1971 dan menjadi salah satu penyumbang pajak terbesar bagi pemerintah Indonesia, setiap peristiwa penembakan di kawasan itu rentan terkait jasa pengamanan. Tiap terjadi insiden kekerasan, yang diikuti eskalasi ketegangan, mendorong Freeport untuk mengeluarkan ongkos pengamanan secara stabil.

Laporan dari Global Witness berjudul “Paying for Protection” pada Juli 2005 menyebutkan bahwa Freeport Indonesia membayar 5,6 juta dolar AS pada 2002 untuk “aparat keamanan Indonesia”. Uang itu dipakai buat ongkos infrastruktur, logistik, perjalanan, administratif, dan bantuan komunikasi polisi dan militer Indonesia. Dalam satu keadaan, PT Freeport Indonesia pernah memakai 3.000 personel keamanan.

Laporan Institute for Policy Analysis of Conflict pada 31 Oktober lalu menulis bahwa setiap kekerasan di areal Freeport “dapat melibatkan banyak aktor dengan banyak kepentingan”.

“Bahkan sekalipun OPM yang disalahkan, orang Papua akan bertanya-tanya siapa lagi yang terlibat,” tulis laporan tersebut.

Suara dari Lemasa Suku Amungnge

Odizeus Beanal dari Lembaga Masyarakat Adat (Lemasa) Suku Amungme, yang tinggal di Kota Timika, berkata bahwa “masalah” yang memanas Tembagapura “jangan sampai bikin korban warga sipil”.
“Jangan memperumit masyarakat, jangan bikin teror warga sipil,” katanya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *