VIDEO DAN HIBURAN

Suku-Suku yang Mempunyai Tradisi Bebas “Hubungan badan”,Apakah Ada di Indonesia?

182
×

Suku-Suku yang Mempunyai Tradisi Bebas “Hubungan badan”,Apakah Ada di Indonesia?

Sebarkan artikel ini

Mahensa Express.Com-Pontianak. Dalam tradisi semua agama di dunia, berhubungan intim atau berhubungan badan, hanya bisa dilakukan oleh pasangan laki-laki dan perempuan yang sudah berstatus suami istri yang sudah mengalami ritual perkawinan dalam agama masing-masing.

Dilansir dari Netralnews setelah nikah secara agama baru seseorang bisa melakukan hubungan badan atau hubungan intim layaknya suami istri. Kalau belum nikah secara agama, hubungan badan adalah sebuah perzinahan. Hukumannya masuk neraka.

Namun, itu kerap berbeda dengan tradisi di sejumlah suku di dunia. Dalam hal mana ada tradisi dalam suku-suku di dunia yang mengizinkan laki-laki dan perempuan melakukan hubungan badan sebelum menikah, yang tentu dengan pertimbangan yang matang.

Di Indonesia, misalnya di suku Samin di Jawa Timur, seorang calon pengantin diwajibkan melakukan hubungan intim pada malam harinya ketika berencana untuk melakukan pernikahan. Itu sudah dipaparkan pada tulisan sebelumnya di Netralnews.

Di Kalimantan, misalnya ada satu suku primitif yang seorang perempuan bisa melakukan hubungan badan dengan beberapa laki-laki, dalam arti dia bisa memiliki beberapa pria sebagai suaminya.

Anak yang lahir akan dirawat dan dijadikan sebagai anak bersama di antara sejumlah laki-laki yang merasa dan tahu memiliki anak itu. Itu juga sudah disinggung pada sebuah tulisan sebelumnya di Netralnews.

Suku Kreung di Kamboja

Yang paling unik adalah di sebuah suku di Kamboja yang disebut suku Kreung. Suku Kreung adalah salah satu etnis minoritas yang tersebar di bagian timur Kamboja. Etnis ini mendiami 27 desa di distrik Ratanakiri.

Tak seperti etnis-etnis lainnya di Kamboja, orang-orang Kreung memiliki tradisi yang unik terutama dalam persoalan jodoh. Penduduk etnis ini memiliki pemikiran yang sangat terbuka dalam urusan hubungan pria-wanita.

Para pemuda dan pemudi Kreung menjalani hubungan intim bebas, sebuah praktik yang pasti sulit diterima oleh budaya dan agama yang mengagungkan keperawanan perempuan.

Tetapi dengan menjalani hubungan bebas bukan berarti etnis Kreung tidak menghargai harkat dan martabat wanita. Mereka justru sangat menghargai emansipasi wanita. Para wanita memiliki hak sepenuhnya untuk memilih siapa laki-laki yang akan menjadi jodohnya kelak.

Pondok Cinta

Para orangtua di desa-desa suku Kreung punya tradisi membangun pondok-pondok kecil dari anyaman bambu untuk anak-anak gadis mereka yang sudah beranjak remaja. Gadis-gadis Kreung biasanya dibuatkan pondok cinta ini ketika mereka memasuki usia 13 sampai 15 tahun. Penduduk etnis Kreung sendiri lebih suka menyebutnya ‘rumah perawan’.

Pondok ini dimaksudkan sebagai sarana bagi para gadis Kreung untuk menemukan cinta sejati. Dengan begitu gadis-gadis muda tersebut leluasa untuk mengundang para pria, mengenal mereka, dan berhubungan seksual jika mereka menginginkannya.

“Sebelum kita membuka rumah kita, kita tidak akan bisa membuka hati untuk orang lain,” kata Gaham, perempuan berusia 21 tahun dari suku Kreung seperti ditulis Campus Diaries. “Suasana di pondok sedikit gelap dan sunyi. Jadi terasa sangat romantis.”

Tetapi interaksi antara sepasang pemuda di gubuk cinta tidak selalu diwarnai hubungan seksual. Kadang yang terjadi hanya hubungan persahabatan belaka, dan jika si pria berkunjung yang mereka lakukan mungkin hanya mengobrol hingga larut malam lalu tidur.

“Jika aku tidak ingin mereka menyentuhku, mereka tidak akan melakukannya. Kami cuma mengobrol dan tidur.” ucap Nang Chan, gadis berumur 17 tahun yang sudah tinggal di gubuk cinta selama dua tahun.

Seperti gadis-gadis lainnya, Chan biasa mencari tahu dulu seperti apa kepribadian si pemuda, pandangan hidupnya, keseriusannya, dan sopan santunnya sebelum ia memutuskan untuk bersedia didekati.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *