Sesungguhnya, tidak seorang pun tahu kapan persisnya Yesus dari Nazareth dilahirkan ke dalam dunia ini. Tidak ada suatu Akta Kelahiran zaman kuno yang menyatakan dan membuktikan kapan dia dilahirkan. Tidak ada seorang saksi hidup yang bisa ditanyai.
Berlainan dari tuturan kisah-kisah kelahiran Yesus yang dapat dibaca dalam pasal-pasal permulaan Injil Matius dan Injil Lukas, sebetulnya pada waktu Yesus dilahirkan, bukan di Bethlehem, tetapi di Nazareth, tidak banyak orang menaruh perhatian pada peristiwa ini. Paling banyak, ya selain ibunya, beberapa tetangganya juga ikut sedikit disibukkan oleh kelahirannya ini, di sebuah kampung kecil di provinsi Galilea, kampung Nazareth yang tidak penting.
Baru ketika Yesus sesudah kematiannya diangkat menjadi sang Mesias Kristen agung oleh gereja perdana, atau sudah dipuja dan disembah sebagai sang Anak Allah, Raja Yahudi, dan Juruselamat, disusunlah kisah-kisah kelahirannya sebagai kelahiran seorang besar yang luar biasa, seperti kita dapat baca dalam pasal-pasal awal Injil Matius dan Injil Lukas (keduanya ditulis sekitar tahun 80-85 M). Dalam abad-abad pertama M, di dunia Yunani-Romawi atau yang biasa dikenal sebagai kawasan Laut Tengah, kisah-kisah epik yang mengagung-agungkan manusia, yang disebut aretalogi (artinya, kisah-kisah kebajikan besar), banyak disusun, dan aretalogi sosok Yesus dari Nazareth hanyalah salah satu saja./1/
Dalam dunia kuno itu, dengan setiap bangsa punya satu atau beberapa sosok insani yang agung dan akbar (mulai dari filsuf, guru kebijaksanaan, manusia perkasa, jenderal hingga raja dan kaisar), aretalogi disusun dengan sangat kaya dan mempesona dan menggerakkan sisi afektif manusia. Lewat aretalogi, sosok-sosok manusia agung diberi legitimasi sebagai dewa-dewi atau allah-allah besar, suatu praktek religiopolitik yang dinamakan deifikasi atau apotheosis.
Praktek ini pada zaman itu dan di dunia Yunani-Romawi lazim dilakukan dan tidak dinilai sebagai syirik sama sekali. Mengkritik, menolak dan melawan kekristenan di dunia modern dengan doktrin syirik tentu saja suatu anakronisme dan etnosentrisme yang serba semberono. Ada sekian syarat dan prosedur yang harus dipenuhi sebelum suatu sosok insani besar resmi dideifikasi dan diberi status Dewa atau Allah.
Tentu saja, aretalogi bukan sastra sejarah; di dalamnya, sejarah dan mitos dicampur, fakta dan fiksi digabung; sudah sulit untuk memisahkan keduanya, tetapi bisa dilakukan lewat kajian-kajian kritis sejarah dan sastra. Penyusunan aretalogi dan praktek apotheosis berlangsung dalam suatu kompetisi religiopolitik yang pada akhirnya dapat melahirkan agama-agama baru yang diterima. Ingat, di zaman kuno sekularisasi belum dikenal dan tidak dipraktekkan. Agama ya politik dan politik ya agama.
Dalam abad ke-21 ini tentu saja nyaris semua bentuk dan aliran kekristenan yang ada dalam dunia modern tidak akan ceroboh dan petantang-petenteng untuk dengan naif mengganti semua sistem politik modern yang dikenal sebagai demokrasi dengan teokrasi Kristen yang tentu saja juga akan tidak satu bentuk.
Karena pengagungan dan penyembahan yang dilakukan gereja-gereja perdana terhadap Yesus, sosok yang sebetulnya dilahirkan di Nazareth ini, kota yang sama sekali tidak penting, diubah, lewat berbagai aretalogi (dalam Perjanjian Baru maupun di luarnya), menjadi sosok religiopolitis yang dilahirkan di kota Raja Daud, kota Bethlehem, kota yang disucikan dan diagungkan sebagai kota asal sang Messias Yahudi sejati mana pun. Sebutan “Yesus orang Nazareth” adalah sebuah petunjuk kuat bahwa Yesus dilahirkan di Nazareth, bukan di Bethlehem.
Dengan menyatakan kota Bethlehem, kota Raja Daud, sebagai kota kelahiran Yesus, maka Raja Daud yang hidup seribu tahun sebelumnya (abad 10 SM) pun dibuat menjadi bapak moyang agung sosok Yesus dari Nazareth. Untuk melegitimasi usaha religiopolitis peningratan Yesus ini, maka silsilah Yesus disusun yang dengan lebih dari satu cara mempertalikan sosok Yesus dari Nazareth dengan Raja Daud sebagaimana dapat dibaca dalam Injil Matius 1:1-17. Silsilah Yesus versi Matius ini tidak sama dengan silsilah Yesus yang disusun atau dipakai penulis Injil Lukas (3:23-38). Masing-masing silsilah ini tidak sama karena memang disusun untuk tujuan dan kepentingan religiopolitis yang berbeda.
Pada sisi lainnya, penulis Injil Kristen tertua intrakanonik, yakni Injil Markus (ditulis tahun 70 M), sama sekali tidak memandang penting untuk menyusun sebuah kisah kelahiran Yesus.
Pada ujung satunya lagi, yakni dalam Injil Yohanes (ditulis akhir abad pertama M, sekitar tahun 90-an), juga tidak ditemukan kisah apapun tentang kelahiran Yesus. Dalam Injil Keempat ini, kisah Natal diganti dengan apa yang dinamakan protologi, yakni kepercayaan tentang apa yang ada pada awal atau permulaan segala zaman. Injil ini dibuka dengan kata-kata ini, “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah” (Yohanes 1:1). Jadi, kota Nazareth dalam injil ini diganti dengan kawasan di luar dunia ini, tempat asal-usul Yesus Kristus sebagai “sang Firman yang telah menjadi manusia” (Yohanes 1:14). Dalam Injil Yohanes, persalinan seorang perempuan diganti dengan inkarnasi atau penitisan.
Dalam tuturan penulis Injil Lukas, kelahiran Yesus diwartakan sebagai kelahiran seorang tokoh Yahudi yang menjadi pesaing religio-politis Kaisar Agustus, yang sama ilahi dan sama berkuasanya, yang kelahiran keduanya ke dalam dunia merupakan “kabar baik” (euaggelion) untuk seluruh bangsa karena keduanya adalah “Juruselamat” (sōtēr) dunia. Berita dalam Lukas 2:10,11 jelas dilatarbelakangi dan mau menyaingi dekrit Majelis Provinsi Asia tentang Kaisar Agustus yang dikeluarkan tahun 9 M. Dekrit ini menyatakan:
“Sang Kaisar Ilahi Tertinggi . . . harus kita pandang setara dengan Sang Awal segala sesuatu…. Kaisar adalah sang Dewa Kebaikan bagi semua orang . . . Sang Awal kehidupan dan kekuatan…. Semua kota sepakat untuk menjadikan Natal sang Kaisar Ilahi sebagai awal tahun baru…. Sang Providentia yang telah mengatur seluruh kehidupan . . . telah membawa kehidupan kita ke puncak kesempurnaan . . . lewat sang Kaisar Agustus yang telah dianugerahkannya kepada kita. Oleh sang Providentia sang Kaisar telah dipenuhi dengan kebajikan dan kebijaksanaan demi keselamatan seluruh umat manusia. Sang Kaisar, yang telah diutus kepada kita dan semua keturunan kita sebagai Sang Penyelamat, telah mengakhiri perang dan telah menempatkan segala sesuatu pada tempatnya yang teratur. Dan . . . akhirnya, hari Natal sang Dewa Agustus telah menjadi awal Kabar Baik bagi seluruh dunia, kabar baik tentang dirinya sendiri. Karena itulah, kelahirannya telah menjadi awal zaman baru.”/2/
Dalam tuturan penulis Injil Matius, kanak-kanak Yesus yang telah dilahirkan, yang diberitakan sebagai kelahiran seorang Raja Yahudi, telah menimbulkan kepanikan pada Raja Herodes Agung yang mendorongnya untuk memerintahkan pembunuhan semua anak di Betlehem yang berusia dua tahun ke bawah (Matius 2:2, 3, 16). Kisah ini tentu saja fiksi, dan gereja perdana mempunyai sebuah model yang bagus untuk menyusun kisah ini, yang diambil dari kitab suci Yahudi. Model yang dipakai adalah sosok Nabi Musa, yang dilahirkan ketika sang Firaun Mesir sedang menjalankan aksi pembunuhan atas anak-anak Ibrani yang terlahir sebagai bayi laki-laki, seperti dikisahkan dalam Keluaran 1:15-2:10.
Fiksi ini disusun untuk mencapai tujuan propaganda religiopolitis kekristenan, yakni menyetarakan Yesus dari Nazareth dengan Nabi Musa, sosok teragung dalam Yudaisme. Jadi, kata para juru bicara gereja-gereja awal, tidak ada kerugian spiritual dan politis sama sekali jika orang Yahudi pindah agama, masuk agama Kristen yang isinya telah dibeberkan penulis Injil Matius dalam kitab injilnya, yang bagian utama isinya disusun dalam lima struktur yang mengambil analogi dari lima kitab Taurat Musa.
Dalam kisah-kisah kelahiran Yesus dalam kedua kitab injil inipun (Matius dan Lukas) bahkan dalam seluruh Perjanjian Baru, tidak ada suatu catatan historis apapun yang menyatakan tanggal 25 Desember sebagai hari kelahiran Yesus. Jika demikian, bagaimana tanggal 25 Desember bisa ditetapkan sebagai hari kelahiran Yesus, hari Natal? Dalam kebudayaan kuno Yahudi-Kristen dan Yunani-Romawi, ada dua cara yang dapat dilakukan untuk menetapkan hari kelahiran Yesus.
Mari kita telusuri cara pertamanya.
Seperti dicatat dalam dokumen Yahudi Rosh Hashana (dari abad kedua), sudah merupakan suatu kelaziman di kalangan Yahudi kuno untuk menyamakan hari kematian dan hari kelahiran bapak-bapak leluhur Israel. Dengan sedikit dimodifikasi, praktek semacam ini diikuti oleh orang-orang Kristen perdana ketika mereka mau menetapkan kapan Yesus Kristus dilahirkan.
Sebetulnya, praktek semacam ini berlaku hampir universal dalam orang menetapkan hari kelahiran tokoh-tokoh besar dunia yang berasal dari zaman kuno. Dalam kepercayaan para penganut Buddhisme, misalnya, hari kelahiran, hari pencapaian pencerahan (samma sambuddha) dan hari kematian (parinibbana) Siddharta Gautama sang Buddha dipandang dan ditetapkan (pada tahun 1950 di Sri Langka) terjadi pada hari yang sama, yakni hari Waisak atau hari Trisuci Waisak.
Ketika orang-orang Kristen perdana membaca dan menafsirkan Keluaran 34:26b (bunyinya, “Janganlah engkau memasak anak kambing dalam susu induknya”), mereka menerapkannya pada Yesus Kristus. “Memasak anak kambing” ditafsirkan oleh mereka sebagai saat orang Yahudi membunuh Yesus; sedangkan frasa “dalam susu induknya” ditafsirkan sebagai hari pembenihan atau konsepsi Yesus dalam rahim Bunda Maria.
Dengan demikian, teks Keluaran ini, setelah ditafsirkan secara alegoris, menjadi sebuah landasan skriptural untuk menetapkan bahwa hari kematian Yesus sama dengan hari pembenihan janin Yesus dalam kandungan ibunya, sekaligus juga untuk menuduh orang Yahudi telah bersalah melanggar firman Allah dalam teks Keluaran ini ketika mereka membunuh Yesus.
Kalau kapan persisnya hari kelahiran Yesus tidak diketahui siapapun, hari kematiannya bisa ditentukan dengan cukup pasti, yakni 14 Nisan dalam penanggalan Yahudi kuno, dan ini berarti 25 Maret dalam kalender Julianus. Sejumlah bapak gereja, seperti Klemen dari Aleksandria, Lactantius, Tertullianus, Hippolytus, dan juga sebuah catatan dalam dokumen Acta Pilatus, menyatakan bahwa hari kematian Yesus jatuh pada tanggal 25 Maret. Demikian juga, Sextus Julianus Afrikanus (dalam karyanya Khronografai, terbit tahun 221), dan Santo Agustinus (menulis antara tahun 399 sampai 419), menetapkan 25 Maret sebagai hari kematian Yesus.
Dengan demikian, hari pembenihan janin Yesus dalam rahim Maria juga jatuh juga pada 25 Maret.
Kalau 9 bulan ditambahkan pada hari konsepsi Yesus ini, maka hari kelahiran Yesus adalah 25 Desember.
Sebuah traktat yang mendaftarkan perayaan-perayaan besar keagamaan, yang ditulis di Afrika dalam bahasa Latin pada tahun 243, berjudul De Pascha Computus, menyebut tanggal 25 Desember sebagai hari kelahiran Yesus. Hippolytus, dalam Tafsiran atas Daniel 4:23 (ditulis sekitar tahun 202), menyebut tanggal 25 Desember sebagai hari kelahiran Yesus. Sebuah karya yang ditulis dengan tangan, dalam bahasa Latin, pada tahun 354 di kota Roma, yang berjudul Khronografi, juga menyebut 25 Desember sebagai hari kelahiran Yesus Kristus.
Meskipun banyak dokumen dari abad ketiga sampai abad keempat menyebut tanggal 25 Desember sebagai hari kelahiran Yesus Kristus, tidak semua orang pada waktu itu menyetujui adanya perayaan hari Natal. Origenes, teolog Kristen dari Aleksandria, misalnya, dalam karyanya Homili atas Kitab Imamat, menyatakan bahwa “hanya orang-orang berdosa seperti Firaun dan Raja Herodes yang merayakan hari ulang tahun mereka.” Begitu juga, seorang penulis Kristen bernama Arnobus pada tahun 303 memperolok gagasan untuk merayakan hari kelahiran dewa-dewi.
Pada sisi lain, kalangan Montanus menolak kalau kematian Yesus jatuh pada 25 Maret; bagi mereka Yesus wafat pada 6 April. Dengan demikian 6 April juga hari konsepsi Yesus dalam kandungan Maria, ibunya. Kalau setelah 6 April ditambahkan 9 bulan, maka hari kelahiran Yesus jatuh pada 6 Januari. Di kalangan Gereja Timur (yang berbahasa Yunani), berbeda dari Gereja Barat (yang berbahasa Latin), hari Natal tidak dirayakan pada 25 Desember, tetapi pada 6 Januari.
Madonna (Bunda Maria) hitam dan kanak-kanak Yesus yang juga hitam. Sangat mungkin, aslinya keduanya memang berkulit hitam!
Sekarang kita telusuri cara keduanya.
Sebelum kekristenan lahir dan tersebar di seantero kekaisaran Romawi dan kemudian dijadikan satu-satunya agama resmi (religio licita) kekaisaran melalui dekrit Kaisar Theodosius pada tahun 381, orang Romawi melakukan penyembahan kepada Matahari (= heliolatri).
Dalam heliolatri ini, Dewa Matahari atau Sol menempati kedudukan tertinggi dan ke dalam diri Dewa Sol ini terserap dewa-dewa lainnya yang juga disembah oleh banyak penduduk kekaisaran, antara lain Dewa Apollo (dewa terang), Dewa Elah-Gabal (dewa matahari Syria) dan Dewa Mithras (dewa perang bangsa Persia).
Heliolatri, yakni pemujaan dan penyembahan kepada Dewa Sol sebagai Dewa Tertinggi, menjadi sebuah payung politik-keagamaan untuk mempersatukan seluruh kawasan kekaisaran Romawi yang sangat luas, dengan penduduk besar yang menganut berbagai macam agama dan mempercayai banyak dewa.
Pada tahun 274 oleh Kaisar Aurelianus Dewa Sol ditetapkan secara resmi sebagai Pelindung Ilahi satu-satunya atas seluruh kekaisaran dan atas diri sang Kaisar sendiri dan sebagai Kepala Panteon Negara Roma. Menyembah Dewa Sol sebagai pusat keilahian berarti menyentralisasi kekuasaan politik pada diri sang Kaisar Romawi yang dipandang dan dipuja sebagai titisan atau personifikasi Dewa Sol sendiri.
Dalam heliolatri ini tanggal 25 Desember ditetapkan sebagai hari perayaan religius utama untuk memuja Dewa Sol, hari perayaan yang harus dirayakan di seluruh kekaisaran Romawi. Pada musim dingin, Matahari (Latin: sol) tampak “diam tak bergeming” (Latin: sistere) di titik terendah di kaki langit Eropa utara sejak tanggal 21 Desember hingga 22 Desember. Kurun selama dua hari inilah yang dinamakan winter solstice (kurun titik balik sang Matahari).
Persis mulai 23 Desember, sang Matahari mulai perlahan bangkit kembali, balik lagi, naik dari cakrawala, seolah Dewa Sol hidup kembali setelah mengalami kematian. Persis tanggal 25 Desember sang Matahari tiba di titik tertinggi di langit musim dingin Eropa utara. Peristiwa astronomikal ini ditafsir secara religius sebagai saat Dewa Sol tak terkalahkan, bangkit dari kematian, yang dalam bahasa Latinnya disebut sebagai Sol Invictus (= Matahari Tak Terkalahkan). Ya, tak terkalahkan, karena sang Matahari ini kembali mencerahkan dunia, dari tempatnya yang tertinggi dari cakrawala!
Dengan baca buku, mereka sedang merayakan Natal!
Dengan demikian, tanggal 25 Desember dijadikan sebagai Hari Kelahiran (kembali) Dewa Sol Yang Tak Terkalahkan, Dies Natalis Solis Invicti. Karena Kaisar dipercaya sebagai suatu personifikasi Dewa Sol, maka sang Kaisar Romawi pun menjadi Sang Kaisar atau Sang Penguasa Tak Terkalahkan, Invicto Imperatori, seperti diklaim antara lain oleh Kaisar Septemius Severus yang wafat pada tahun 211.