Oleh : Rahmad Nasir
Staf Pengajar STKIP Muhamnadiyah Kalabahi
Saya mendapati beberapa jawaban untuk satu pertanyaan sesuai judul di atas. Jawaban-jawaban ini bisa menjadi renungan menarik bagi diri sendiri atau bahkan dengan manusia lain yang kebetulan hadir dalam kehidupan kebermanusiaan. Jawaban-jawaban itu adalah sebagaimana berikut :
Jawaban pertama : agar mendapatkan pekerjaan, lantas orang yang tak sekolah pun mampu mendapatkan pekerjaan bahkan mampu berpenghasilan lebih dari para tamatan sekolah.
Jawaban kedua : Untuk mendapatkan pengetahuan, lantas orang yang tak sekolah pun mampu mendapatkan pengetahuan tanpa melalui sekolah formal.
Jawaban ketiga : Untuk memperoleh jabatan, lantas mengapa orang tak sekolah pun mampu mendapatkan jabatan-jabatan sosial di masyarakat
Jawaban keempat : Untuk mendapatkan pengalaman, lantas mengapa orang tak sekolah pun mampu mendapatkan pengalaman bahkan lebih, karena pengalaman di luar ruang-ruang kelas lebih banyak dan lebih orisinil. Bukankah pengetahuan di sekolah hanyalah kumpulan pengetahuan yang sumbernya dari luar ruang kelas?
Sejenak jika diamati pertanyaan dan jawaban di atas, maka defenisi pendidikan secara luas menunjukkan bahwa sekolah hanyalah secuil realitas pendidikan. Segala hal yang berkaitan dengan pendidikan terjadi dalam segala aktivitas manusia. Sekolah hanyalah segala aturan yang lebih formal dalam mengatur pembelajaran manusia, karena tanpa sekolah seorang manusia mampu membuat aturan-aturan yang dapat mengikat dirinya sendiri sehingga konsisten dengan aturan-aturan yang mengarahkan diri individunya mempelajari sesuatu hal demi mendapatkan pengetahuan/informasi baru bahkan transformasi nilai.
Manusia memang agak sulit konsisten dengan aturan yang ia buat sendiri, namun mungkin lebih konsisten menjalani aturan dari orang lain/orang banyak berdasarkan kesepakatan pada berbagai level komunitas mulai dari keluarga hingga organisasi sebesar negara. Untuk itulah sekolah hadir sebagai satu entitas untuk mendesain aturan dan kultur tertentu yang mendukung tujuan pendidikan manusia lebih membumi dalam tindakan, bukan sekedar dalam langit-langit konsepsi.
Secara khusus/sempit, pendidikan identik dengan sekolah/lembaga pendidikan lainnya yang berfungsi menyediakan layanan pendidikan bagi manusia dengan berbagai tujuan diantaranya memperoleh pengetahuan, mendapatkan keahlian dalam ketrampilan tertentu serta perbaikan/pengembangan perilaku. Sekolah bukan hanya sebuah bangunan, namun lebih dari itu adalah lembaga bahkan sebuah konsepsi abstrak yang di dalamnya terdapat nilai-nilai yang membudaya dalam mewujudkan manusia yang berperadaban.
Dahulunya, pengetahuan dan nilai yang diperoleh manusia tidak didapat dalam sekolah formal sebagaimana saat ini. Hal ini karena ilmu belum terpecah-pecah menjadi berbagai disiplin/fakultas yang banyak sebagaimana kini. Konon, filsafat menjadi induk dari segala ilmu (the mother of science or the master of science). Karena segala sesuatu begitu baru sehingga para filsuf menjadi besar namanya disebabkan oleh merekalah yang paling awal menemukan gagasan-gagasan besar itu. Jika pendidikan berorientasi pada perubahan tingkah laku dalam hal akhlak moralitas, maka banyak pendahulu telah menunjukkan kepada generasi selanjutnya bahwa semua bisa diperoleh baik dari sekolah formal maupun sekolah secara alami oleh individu bersangkutan.
Jika pendidikan berorientasi pada produktifitas buah karya manusia, maka yang dikembangkan adalah ketrampilan. Hal ini sangat cocok dengan dunia kini yang sangat pragmatis, karena segala sesuatu harus memberikan kemudahan hidup bagi manusia. Pekerjaan-pekerjaan manusia dibantu mesin berupa tombol-tombol peradaban yang hanya dipencet sekali untuk memberikan manfaat besar bagi manusia, meskipun bisa juga memiliki efek buruk bagi kehidupan manusia.
Zaman telah memaksa manusia untuk harus menempuh pendidikan lewat ruang-ruang formal sekolah dengan biaya yang teramat mahal. Jika tidak, manusia dianggap aneh bahkan tak memiliki wajah di mata publik. Sekolah telah menjadi ikon human kapital maupun sebagai produk para robot bagi berbagai perusahaan kapital. Pada saat yang bersamaan sekolah juga memproduk pengangguran yang begitu melimpah ruah bagi pemandangan fenomena hidup kekinian.
Persoalan pendidikan ditinjau dari berbagai level/jenjang, maka permasalahannya mulai pada level filosofis dengan pertanyaan pamungkasnya, pendidikan untuk apa? Pendidikan untuk siapa?, level teoritik yang merupakan derivasi dari level filosofis, level kebijakan yang bersandar pada teori pendidikan hingga membumi dalam realitas manusia, level manajerial yang mengurusi pengelolaan pendidikan serta level teknis edukasional yang berkaitan dengan praktik-praktik pendidikan di lapangan kehidupan.
Sekolah untuk apa? Untuk apa sekolah? Sekolah untuk siapa? Siapa yang bersekolah?. Mungkin harus dijawab dengan keadilan pemaknaan dalam langit kesadaran konsepsi dan pembumian gagasan-gagasan itu pada robot-robot hidup bernama manusia. Untuk apa sekolah? Apakah untuk harta, untuk tahta? Sekolah untuk siapa? Apakah untuk diri, orang lain ataukah untuk malaikat bidang pendidikan?. Sekolah itu dimana saja, kapan saja dan dengan siapa saja dapat menjadi guru juga sebagai murid. Mungkin sekolah awal itu bernama “rahim ibu” tempat dimana manusia menerima pengalaman/pengetahuan awal, bahkan sekolah dimulai jauh sebelum itu. Entahlah kapan dan dimana akhirnya?.