SEBUAH RENCANA PEMBEBASAN
“Kau tak perlu memantik kemarahanmu, jika ia terus mencoba menimbun dendam di hatimu. Kau cukup mendoakannya, semoga lekas ia mendapatkan hidayah.”
****
Hiruk-pikuk lalu lalang di pasar itu berakhir perlahan, seturut lampu-lampu jalan dinyalakan. Seorang perempuan berwajah memelas masih bermalas-malasan mendekap anak bungsunya di atas bangku berukuran sedang. Di depannya, berbungkus-bungkus nasi –daganganya– masih mendiami tempatnya yang usang. Wajah letih itu membuang pandang ke sekeliling pasar, tampak orang-orang mulai beranjak meninggalkan lapak-lapak mereka.
Sejak anak keduanya yang telah genap berumur tujuh tahun tepat tiga bulan yang lalu mulai masuk sekolah, ia lebih memilih menjadi seorang penjual nasi kuning, sebab menjadi buruh cuci-gosok tidak memberikan peruntungan bagus baginya.
Telah beberapa bulan ia berjualan di pasar itu. Sedang anak pertamanya, meninggal setahun yang lalu digebuk beramai-ramai oleh beberapa orang preman saat menjajakan koran di sebuah terminal bus kala sepulang sekolah. Setelah diselidiki, gerombolan preman itu ternyata musuh suaminya. Betapa terpukulnya perempuan itu, anak yang menjadi segala harapan atas hidup mereka harus meregang nyawa karena ulah suaminya.
“Ini semua gara-gara kamu!” teriaknya.
Suara perempuan itu memecah keheningan malam, setelah tahu musabab kematian anaknya. Suaminya membela diri, tak tampak sedikit rasa penyelasalan yang melekat pada wajah suaminya. Sebaliknya, ia malah dihujani pukulan dan tendangan. Ia terus meraung kesakitan seturut anak bungsunya yang ikut menangis di tengah malam buta. Bibirnya pecah, lebam, dan memar menghiasai tubuh dan pipinya.
Orang-orang tak berani mendekat. Mereka tahu betapa beringas suaminya itu. Pernah sekali, seorang warga berusaha melerai pertengkaran mereka, tetapi dihajar oleh suaminya hingga babak belur.
“Suamimu ke mana?” tanya seorang ibu penjual gado-gado di samping lapaknya ketika hendak mengemasi barang-barangnya, “sudah beberapa bulan kamu berjualan di sini, tapi saya belum pernah melihat suamimu.”
Ia hanya diam mengulum senyum paling masam. Baginya, ada ataupun tanpa suami sepertinya sama saja. Toh! Ia seperti hidup sendirian. Sudah bertahun-tahun ia merasakan hidup seperti di neraka, merasakan perlakuan suaminya yang tidak manusiawi. Ia harus membanting tulang untuk menghidupi dirinya dan anak-anaknya, sedangkan suaminya datang dan pergi seenak hatinya tanpa beban di kepalanya. Bukan ia tak peduli perihal kebiasaan suaminya itu, tapi sekalipun ia peduli, hasilnya ia akan mendapatkan pukulan dan tendangan semalam suntuk.
Orang-orang acapkali menyuruhnya untuk pergi meninggalkan suaminya itu, tapi suaminya cukup cerdik. Suaminya selalu menyuruh anak-anak buahnya untuk mengawasinya. Burhan, tetangga mereka, pernah ditemukan tewas di pinggir kali setelah membantu dirinya untuk kabur. Sejak saat itu, tak seorang pun yang memberanikan diri menolongnya, jika nyawa mereka terancam.
Terdengar suara azan magrib bersahut-sahutan. Perempuan itu masih duduk mendekap anaknya. Ditatapnya lagi dagangan di depannya. Hanya beberapa bungkus yang terbeli, itu pun ketika ada beberapa orang remaja tanggung yang merasa iba padanya. Hari ini, sepertinya ia tak seberuntung hari kemarin. Suasana pasar semakin hening selepas azan magrib mengangkasa. Ia bergegas mengemasi dagangannya.