Hari-hari ini jutaan umat Muhammad SAW kembali berbondong-bondong menuju tanah suci, Mekah, untuk melakukan ibadah haji. Sebuah ibadah yang tidak saja diwajibkan (fardh), tapi sekaligus salah satu dari lima tiang agama (rukun Islam).
“Islam dibangun di atas lima dasar (pilar); syahadah bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad ada rasul Allah, mendirikan sholat, mengeluarkan zakat, berpuasa di bulan Ramadan, dan haji ke Baitullah bagi yang sanggup menjalaninya”. (Bukhari-Muslim).
Penegasan itu sekaligus menjelaskan kewajibanya atas setiap Muslim memenuhi persyaratan-persyaratannya. Di antara persyaratan itu adalah Islam, berakal, balig, dan tentunya mampu (istitho’ah).
Merupakan konsensus para ulama, berdasarkan hadits Rasulullah bahwa kewajiban haji hanya sekali dalam seumur. Ketika para sahabat bertanya: “Apakah setiap tahun ya Rasulullah?” Beliau yang ketika ditanya berkali-kali oleh sahabat menjawab: “seandainya saya katakan Iya maka wajiblah (setiap tahun)”.
Pertanyaan yang kemudian timbul adalah apakah melaksanakannya harus segera atau boleh ditunda? Jawabannya adalah bahwa semua ulama mengharuskan “segera dilaksanakan” jika telah memenuhi syarat-syarat kewajibannya. Hanya Imam Syafii (Rahimahullah) yang mengatakan boleh saja ditunda tapi dengan catatan “yakin tidak mati sebelum musim haji tahun depan”.
Kesimpulannya adalah merupakan konsensus ulama untuk melaksanakan ibadah haji secepat mungkin setelah memenuhi syarat-syarat kewajibannya.
Empat poin utama haji
Berbicara tentang haji tentu berbicara tentang Islam secara keseluruhan, bahkan hidup secara menyeluruh. Hal itu karena haji adalah ibadah yang sangat istimewa. Dan karenanya musim haji dirasakan bahkan ikut dirayakan oleh seluruh Muslim di seluruh pelosok dunia.
Perayaan Idul Adha dengan berkurban sehari setelah wukuf di Arafah merupakan bentuk keikut sertaan, katakanlah bentuk solidaritas Muslim dunia kepada jamaah haji di Tanah Suci.
Tapi tulisan sederhana ini akan merangkum empat poin penting dari pelaksanaan ibadah haji. Keempat ini merupakan kesimpulan dari seluruh rangkaian ibadah haji, dari awal hingga akhir.
Pertama, haji itu merupakan kesimpulan seluruh ibadah dalam Islam. Bahwa ibadah haji itu mencakup seluruh ibadah-ibadah dalam Islam. Ambil saja misalnya rukun Islam yang lima.
Ketika memulai berihram, Ikrar pertama yang akan dilantungkan adalah “labbaik allahumma labbaik. Labbaika laa syariika laka labbaik. Innal hamda wanni’mata laka wal mulk. Laa syariik laka labbaik”. Ucapan atau Ikrar ihram ini disimpulkan dalam Kalimah “Laa ilaaha illa Allah”.
Sepanjang hidup Muslim menegakkan sholat dengan menghadapkan wajahnya ke sebuah titik poin yang tetap (kiblat). Di saat berhaji para jamaah justeru berada langsung di depan Ka’bah Al-Musyarrafah. Ada ikatan batin dengan Rumah Tua (al-baet al-atiiq) itu.
Seseorang yang tidak mampu menunaikan zakat berarti belum memenuhi syarat kewajiban haji. Karena jika membayar zakat saja belum mampu bagaimana dia akan mampu menunaikan haji dengan “Zaad” (ongkos) yang tidak sedikit? Maka berhaji juga menandakan kemampuan berzakat.
Puasa itu esensinya menahan. Tentu menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa dan segala hal yang tidak diridhoi oleh Allah SWT. Dalam berhaji menahan itu diharuskan. “Maka barangsiap yang melakukan haji maka tiada rafats (kata kotor), tiada fusuuq (dosa-dosa), dan tiada jidaaal (berargumen).
Dari semua itu dapat kita katakan bahwa haji itu merupakan kesimpulan semua ibadah dalam Islam. Dengan berhaji berarti seorang Muslim memilki tekad untuk melaksanakan semua kewajiban ibadahnya kepada Allah SWT.
Kedua, haji itu merupakan gambar mini (miniatur) kehidupan manusia. Segenap amalan haji itu menggambarkan “lingkaran hidup” (cicle of life) dari sejak terlahir pertama kali hingga akhir hidup dunia dengan kematian.
Manusia semuanya tanpa kecuali terlahir dalam keadaan suci (fitri). “Semua anak terlahir dalam
Keadaan fitrah…” (hadits). Inilah yang tersimbolkan dalam amalan awal dari haji dengan ihram. Fitrah itu esensinya “alastu bi Rabbikum? Qaaluu balaa”. Yaitu Ikrar tauhid untuk menyembah hanya kepada sang Pencipta. Ihram itu esensinya juga “tauhid” seperti yang disebutkan terdahulu.
Hidup manusia itu berputar. Tidak statis tanpa gerak. Hidup itu esensinya gerakan (perubahan). Karenanya akan terjadi gerakan atau perubahan hidup terus menerus. Bahkan pada diri manusia sekalipun. Perubahan dari bayi menjadi remaja, dewasa, tua dan mati.
Tawaf itu adalah gerakan mengelilingi Ka’bah. Gerakan yang terjadi terus menerus mengikut arah yang telah ditentukan. Hidup adalah tawaf. Berputar dalam hidup secara konstan (terus menerus). Tapi satu hal yang harus diingat. Dinamika apapun yang terjadi di saat thawaf, jangan lupa Ka’bah harus tetap menjadi “sentra” perputaran itu. Dalam dinamika hidup jangan lupa Allah tetap menjadi “pusat” kehidupan (as-somad).
Hidup dunia itu adalah berusaha (sa’aa). Tiada yang didapatkan kecuali dengan usaha. Berbeda dengan akhirat yang semuanya adalah hasil. Kerja baik hasilnya baik. Sebaliknya kerja buruk juga hasilnya buruk.
Tapi satu hal yang harus diingat. Berusaha tidak berarti menentukan hasil. Apapun dan Sehebat apapun usaha kita, yang menentukan hasil akhirnya adalah Dia yang mengatur (al-Mudabbir) langit dan bumi.
Itulah yang terjadi dalam sejarah Ibu Ismail, Hajar AS. Beliau berlari mencari air, bahkan dari bukit ke bukit lainnya. Usahanya berhasil. Karena upaya positif pasti ada hasilnya. Tapi bentuk hasil itu Allah yang menenukan.