Sastra

Puisi-Puisi : Yasir Arafat Stslin

123
×

Puisi-Puisi : Yasir Arafat Stslin

Sebarkan artikel ini

MEMELUK DIAM

mereka tengah memeluk diam
tak ada lagi kata-kata
hanya terdengar pecah lenguh suara
ketika pagi jatuh di permukaan cangkir
yang sesekali meruapkan syak wasangka

gerimis tipis pukul tujuh mencurah perkasa
lalu melingkar anggun pada pelupuk netra
pada anak tangga kesepuluh
geliat raga berangsur menjumpai titik jeda
yang mereka bumikan
di antara celah jemari yang renggang

arah pandang, kini menjelma alir sungai
tak berpola, tak bermuara
hanya kelokan
menyingsing pada wajah
yang membendung kemarahan

mereka masih setia meramu diam
sapa terbungkus musim yang ganas
musim yang kerap meranggaskan luka

Alor, 2019

FORT ROTTERDAM

di rotterdam. rindu adalah cuaca yang menjatuhkan kenangan. kita lalu berkisah perihal nusa celebes kala itu. pada potongan-potongan kisah yang terjuntai di reruntuhan benteng.

orang-orang berseliweran. mencecap tumpukan kisah purba yang tak lagi kasat mata. sejarah bagi mereka hanyalah serepih kalimat koyak-moyak.

di rotterdam. kusut sejarah terurai perlahan. di antara timbunan catatan-catatan usang. dan pulang telah menjadi palang pintu paling palung. sebelum kemerdekaan menjadi senjata yang tumbuh pada mata para jelata.

di rotterdam. masa lampau terbingkai dari bau mesiu. ada pekik merdeka terdengar dari tetabuhan yang terpasung bisu. pekik yang sama selepas senja mengurai pedih perih yang luruh bersama semburat air mata.

Makassar, 2018

MELEMPAR SAUH SEJAUH MUNGKIN

kita kemudian melempar sauh sejauh mungkin. biduk tak lagi kuasa menentang geliat gelombang. layar tak terkembang selepas hujan meruahkan kemarahan di pematang petang. acapkali patah kemudi di tengah laut pasang. sebelum purnama kesepuluh meriwayatkan pelaut-pelaut tangguh, yang gamang menjala asa sarat kecemasan di tengah geliang ombak. sesekali tangan menangkup. jua mulut terkatup memelas pada waktu. semoga mampu kita kemas cemas dengan gegas.

Kupang, 2019

RESOLUSI

Angka-angka pada almanak luruh
Membentur seluruh ingatan yang congkak
Sebuah angka kutebak
Yang pernah dilingkari sebuah tinta sarat onak
Sebelum tulah datang bertandang
Dan telah membawaku menjauh dari
bayang-bayang purba

Kutakar angka-angka luruh dengan mata nanar
Nalarku tak mampu menyibak apa yang benar
Sebab patah dan air mata larungkan gelisah
Sebab tubuh acap menabuh buncah resah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Sastra

Kelu Kaku Dingin Gelap pohon kuning keemasan menyorot…