Lelaki itu…
Pantang mundur jika telah maju, prinsip hidup yang dibawa sejak dahulu hingga masuk persoalan perkawinan secara adat maupun agama. Masih banyak orang berpandangan bahwa semakin besar nilai “moko” yang dibuat belis maka harga diri perempuan pun semakin tinggi nilainya, meskipun pandangan ini seiring berjalannya waktu mulai tergerus oleh perkembangan zaman. Sebagian lagi berpandangan bahwa belis yang terlalu mahal ibarat menjual anak gadis untuk sang lelaki. Ada fenomena kekinian bahwa mahalnya belis disesuaikan dengan strata pendidikan sang gadis. Gadis tamatan SMA, S1, S2 dan S3 berbeda nilainya yakni semakin tinggi strata pendidikannya maka semakin tinggi pula nilai belisnya. Namun, banyak diantaranya berfikir terbalik bahwa sebaiknya semakin tinggi strata pendidikan akan semakin rendah nominal belisnya dikarenakan perempuan dengan predikat pendidikan yang tinggi seharusnya lebih mengerti dengan kondisi ekonomi keluarga sang lelaki. Terserahlah, dari sudut pandang mana orang memandang karena semua bergantung dimana pijakan sang pengamat memandang memandang objek bernama “belis”. Ada lelaki yang berpandangan bahwa jika ia telah membayar belis maka secara otomatis telah membeli lunas sang gadis yang berkonsekuensi bisa diapakan saja gadis itu.
Lelaki itu…
Siap maju dengan segala konsekuensi, namun tak sedikit pun berfikiran untuk menyusahkan gadisnya saat kelak menjadi istri karena ia tahu bahwa tujuan pernikahan adalah kebahagiaan. “Maukah kau hidup bahagia bersamaku?, adik terlalu manis untuk diperjuangkan” ia membatin secara tak langsung dengan gadis manja itu. Gadis itu bangga dan kagum dengan perjuangan calon imamnya dengan segala kekurangannya dengan keyakinan bahwa “inilah lelakiku yang bakal berdiri tegak di depanku saat sama-sama melaksanakan shalat berjamaah bersama anak-anaknya kelak”.
Lelaki itu terus mengumpulkan energi perbekalan untuk membayar lunas benda keramat bernama “moko” sebagai bagian dari upaya mempersunting gadis Alor si hitam manis itu. Bukan hanya itu, image harga diri keluarga telah mengakar kuat dalam budaya orang Alor. Ia tak mau kelak menjadi beban moril tersendiri bagi diri dan keluarga.
Lelaki itu…
Semakin gamang menatap benda itam itu dengan penuh harap, dengan penuh optimis sambil angannya bermuara pada duduknya mereka berdua di kursih pelaminan disaksikan seluruh keluarga dan kerabatnya dengan doa-doa tulusnya untuk kebahagiaan mereka. “Ah, aku harus memiliki benda hitam ini. Bukan sekedar syarat melamarmu namun juga aku adalah manusia yang taat pada adat yang telah turun-temurun dilestarikan nenek moyang”. Ia membatin dalam qolbu.
Lelaki itu…
Masih berjuang…
Negeri Seribu Moko, Medio Oktober 2017
Mengetahui,
(Lelaki Itu)