Kadang para gadis memang harus mengenal sederet pemuda sebelum mereka benar-benar menemukan yang cocok untuk dijadikan pasangan hidup.
Penduduk etnis Kreung memang menghargai hubungan badan pra nikah. Jika melakukan hubungan seksual di luar nikah pada budaya-budaya lain dianggap kehilangan kesucian dan kehormatan, dalam budaya Kreung lepasnya keperawanan seorang gadis justru dianggap sebagai simbol dari kedewasaan dan kemandirian.
Seperti dikutip Phnom Penh Post, menurut mereka berhubungan intim adalah cara bagi pasangan muda-mudi untuk menunjukkan kepada para orang tua bahwa mereka saling mencintai dan berniat serius menjalani komitmen.
Tradisi ini bertujuan untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan bagi remaja puteri untuk belajar tanggung jawab dan kehati-hatian dalam urusan hubungan intim.
Para orang tua pun tak keberatan anak mereka ‘berhubungan’ dengan beberapa pemuda sebelum menemukan pasangan sejatinya asalkan si gadis aman dan diperlakukan dengan baik oleh pemuda yang mereka cintai.
“Jika kami sudah berhubungan badan dan kami yakin saling mencintai, orang tua juga setuju, maka kami bisa menikah.”
Walaupun mungkin banyak orang yang berpendapat bahaya bagi seorang wanita muda untuk tinggal sendirian di sebuah gubuk yang terpisah, menurut Ravee pemerkosaan bukan masalah dalam komunitas etnis Kreung.
Meskipun ia tidak bisa menunjukkan bukti statistiknya, menurutnya hukuman adat di suku Kreung cukup efektif dalam mencegah tindak pemerkosaan dalam proses pencarian jodoh ini.
Jika seorang gadis menjalani hubungan seksual atas paksaan, maka si pria akan dikenakan denda oleh para tetua kampung. Seluruh hasil panen keluarganya akan diambil. Tentu saja hukuman seperti ini juga akan mendatangkan malu bagi si pemuda beserta keluarganya.
Warga Kreung memasuki pernikahan dalam usia yang relatif muda dan dengan cara yang unik pula. Tetapi menurut mereka kekerasan seksual dan perceraian merupakan kasus yang jarang terjadi.
Menurut Louis Quail dari Excalibur, tradisi unik ini sudah mulai tergerus arus globalisasi dan budaya barat. Nilai-nilai budaya Kreung sudah mulai terpengaruh budaya Khmer, yang umumnya menganggap hubungan intim pra nikah sebagai hal negatif.
Sekarang ini hanya di desa Tang Kamal yang masih memelihara tradisi pondok cinta. Tetapi di desa ini pun nilai budaya dari tradisi tersebut sudah mulai luntur. Perubahan gaya hidup dan perekonomian membuat mereka lebih memilih membuat rumah yang lebih bagus dan tahan lama.
Daripada membuat gubuk cinta dari bambu yang terpisah dari rumah utama, mereka lebih memilih membangunkan kamar khusus untuk puteri remaja mereka. Selain lebih praktis dan nyaman, dengan begini para orang tua juga masih punya akses untuk memantau interaksi puteri mereka dengan para pemuda yang sedang mendekatinya.
Dalam perkembangan zaman, sekarang ini semakin banyak pemuda suku Kreung yang tidak lagi menghargai wanita serta hubungan intim.
Bagaimana kalau tradisi itu benar-benar ada di Indonesia? Atau bagaimana alau traisi seperti yang terjadi di suku Samin, Jawa Timur dan satu suku Dayak di Kalimantan itu terjadi di banyak suku di Indonesia? Anda bisa menjawabnya sendiri.
Sumber : Dielaborasi dari Aengaeng.com dan beberapa sumber lain