OPINI

Relawan Vs Paksawan Dalam Pesta Demokrasi

146
×

Relawan Vs Paksawan Dalam Pesta Demokrasi

Sebarkan artikel ini

Pada perhelatan pesta demokrasi di tingkat nasional maupun lokal sering menimbulkan gesekan horizontal antar tim sukses dan para simpatisan. Sebagian dari simpatisan ini menamakan dirinya sebagai “Relawan” atau “sukarelawan”. Relawan berasal dari kata dasar “rela” atau dapat diinterpretasikan sebagai sebuah aktivitas yang dikerjakan untuk membantu orang lain dengan ikhlas tanpa paksaan dari siapa pun bahkan tak mengharapkan imbalan/bayaran tertentu. Dalam kasus kontestasi politik, mereka bahkan membuat spanduk, stiker dan berbagai asesoris kampanye lainnya untuk disebarkan kepada publik. Untuk penyebaran pun para relawan menggunakan tenaga dan fikiran mereka agar tersebar secara efektif dan efisien kepada masyarakat, ikut menyebarkan keunggulan-keunggulan dari kandidatnya serta memungkinkan untuk menjelek-jelekkan lawan di mata masyarakat. Kendati demikian, menurut Abraham Maslow dalam teori hirarki kebutuhannya bahwa tak ada satu aktivitas manusia pun yang tidak didasari motiv tertentu. Saya menerjemahkan bahwa tak ada keikhlasan atau ketulusan manusia dalam beraktivitas. Saya melihat bahwa para relawan mempunyai beberapa motivasi dalam aktivitas meramaikan pesta demokrasi ini di antaranya adalah motivasi mendapatkan bayaran berupa uang pulsa, uang bensin, uang rokok, uang saku, uang minum dan uang-uang lainnya. Dalam bentuk yang lain, ia berharap kelak jika kandidatnya menang akan memudahkannya dalam akses mendapatkan pekerjaan atau dapat menjadi jembatan penghubung bagi keluarga/koleganya untuk memperoleh pekerjaan yang honor/gajinya dibebankan kepada APBN atau APBD. Mungkin saja ia akan mendirikan CV untuk mendapatkan paket proyek dari kandidatnya yang menang dalam kontestasi politik tersebut serta berharap izin bisnisnya dipermudah pemerintah. Saya kira, jika ini yang terjadi maka masih pantaskah oknum-oknum seperti ini disebut relawan atau sukarelawan?. Masihkah kita yakin bahwa ada oknum yang benar-benar menjadi relawan dalam artian bahwa ia resah memikirkan kondisi daerah/negaranya. Ia khawatir jika saja ada kandidat yang buruk kinerja dan integritasnya memimpin daerahnya sehingga turut menambah kesengsaraan rakyat. Untuk itulah ia harus ambil bagian mendukung kandidat yang dianggap lebih baik kinerjanya, profesional dari sepak terjangnya selama ini, serta memiliki integritas. Ia yakin bahwa jika ia tidak turun tangan maka memperbesar kemungkinan kandidat yang buruk akan menang dan memimpin daerahnya.
Saya kira, jika yang menyebut dirinya adalah relawan namun mengharapkan sesuatu berupa materi maka tak pantas disebut “relawan”. Ia telah mencederai makna “kerelawanan” yang selama ini sulit dipraktekan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Mereka lebih pantas disebut sebagai “paksawan”. Adagium “serigala berbulu domba” sama juga dengan “paksawan berbulu relawan”. Para kandidat juga harus berhati-hati dengan kaun paksawan karena dapat mencelakakan dirinya. Mereka bisa saja hanya menghabiskan uang sang kandidat tanpa ada kerja yang jelas dan tak produktif bahkan justru bisa membuat blunder di masyarakat. Apabila sang kandidat menang pun mereka masih memiliki potensi yang besar untuk menggiring kandidat melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme. Dengan adanya beban hutang budi sebagai relawan maka sang bupati/walikota, anggota dewan, gubernur hingga presiden secara terpaksa menggunakan cara-cara terlarang merekrut tenaga kerja/honorer, melalui mekanisme belakang meja untuk memberikan paket proyek serta mengintervensi hukum untuk menyelamatkan relawannya yang sebenarnya terbukti bersalah, bagi-bagi jabatan secara tidak profesional dan proporsional serta potensi kejahatan lainnya selama berkuasa.
Meskipun demikian, namun dalam politik kekinian dikenal istilah “tak ada makan siang gratis” atau tak ada kerja yang gratis sehingga proses berdemokrasi seperti ini sepertinya lazim dilakukan dan hal ini sudah dimaklumi para kandidat. Apalagi kini dalam mencari nafkah semakin susah sehingga dalam momentum seperti ini justru dimanfaatkan masyarakat tertentu untuk mendapatkan keuntungan material sebanyak-banyaknya. Dalam kasus yang lebih tragis seseorang bisa bermain dua kaki yakni mendapatkan keuntungan di semua kandidat yang bertarung.
Akan tetapi kita memimpikan makna relawan harus kembali diletakkan pada aras yang sesungguhnya. Jika tidak, maka kita sedang mewariskan kerja-kerja demokrasi yang buruk kepada generasi selanjutnya. Kita ikut merusak kualitas demokrasi yang dianut di negara ini. Bahwa benar perubahan paradigma tentang masyarakat bukan lagi hanya menjadi objek politik namun juga sebagai subjek politik namun jika menjadi subjek politik dengan cara-cara seperti ini maka yakin dan percaya bahwa hasil demokrasi pun akan buruk dan ikut menyengsarakan rakyat. Hal ini karena para pemimpin yang dihasilkan dari sistem berdemokrasi seperti ini memiliki beban sejarah dan hutang budi sehingga sang pemimpin tidak lagi independen dalam memimpin. Politik transaksional yang telah dianutnya justru membuatnya semakin pusing dalam menjalankan roda pemerintahannya. Sebanarnya jika transaksi yang dibuat adalah untuk kepentingan umum maka hal itu tidak menjadi masalah, namun transaksi lebih didominasi oleh kepentingan perorangan dan kelompok tertentu justru membuat ketimpangan dan kecemburuan sosial di masyarakat hingga konflik horizontal antar masyarakat tak terelakkan terjadi.
Sering kali para relawan justru menjadi pemicu konflik dalam pemilu/pilpres/pemilukada/pileg. Mereka memanas-manasi situasi dan saling serang yang tak produktif serta ikut dalam proyek fitnah dengan menyebarkan berita hoax. Kita berharap dialektika dan dinamika yang dibangun justru adalah perang gagasan, perang data dan visi misi serta program-program unggulan yang akan diimplementasikan saat berkuasa atau paling tidak menjual keunggulan-keunggulan kandidatnya sehingga mendapatkan simpati masyarakat. Jika saja ingin menyerang lawan paling tidak menggunakan negative campaign bukan menggunakan black campaign. Umumnya relawan ikut merusak kualitas demokrasi dan hakikat berpolitik yang sebenarnya. Politik sebenarnya adalah jalan mulia untuk berbuat bagi kemaslahatan banyak orang, namun dengan adanya perilaku-perilaku menyimpang membuat masyarakat telah terlanjur berfikir negatif terhadap politik. Relawan Versus Paksaan adalah suatu tema untuk membangun kesadaran kita sebagai masyarakat untuk berpolitik secara santun dan mengembalikan tujuan berpolitik yang sesungguhnya semata-mata demi kepentingan publik. Saat kepentingan publik terwujud maka dengan sendirinya kepentingan individu dalam masyarakat akan terwujud juga. Masih pantaskah kita disebut sebagai relawan?. Selamat Berdemokrasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *