Rembulan di atas laut sudailah air mata mu sebab bukan kau yang bersedih namun akulah yang bersedih. Tak berteman tak berkayuh pusara pun tertelan angin lalu.
Rembulan di atas laut senyuman mu sinis memanja ku bertubi-tubi ku mati rasa kaku. Janganlah kau pulang, janganlah kau berlalu, janganlah kau bisu, janganlah kau menangis. Tersenyumlah untuk selamanya wahai sang rembulan di atas laut.
Jawa Toda Wato, 15/05/2018
Karya : Gabriel Romelus Ladang
“BELADA PESISIR MUNASELY AKU PIJAK ”
Sudailah pilu keserakahan dalam kemunafikan. Benteng-benteng kokoh mu punah terkulai ngeri negeri mu Munasely. Sang raja babgsawan ternama tinggal nama. Kau terobrak-abrik masa kini.
Para leluhur hanyalah dongeng-dongeng tameng sang pengusa berlantun kerakusan, sebuah namakah…?.
Sebuah tanya dalam tandakah…?
Bangkitlah dalam susah payah tertindas reruntuhan mu ataukah lanjutkan cengkraman keganasan bermelodi simpang siur…?.
Ah…, hati ku menetes darah tersentak iba air mata kesadaran menetes perlahan membasahi pipi kaku.
Munasely tersenyumlah walau kadang kau terkandangkan. Wahai sang leluhur mengapa ada prasasti tanpa pusara beku berkalungkan linangan seribu satu butiran tangisan tak terelakkan. Tarulah bujukan sadar dalam hati merekalah biar sadar itu disadari dalam tutur cerewetnya.
Belada pesisir Munasely aku pijak, pijakkan kaku ku gementar. Batin ku air mata ku bagi mu Munasely. Pesisir mu persis ku lihat namun tak seindah cerita yang ku dengar di kuping ku.
Tuhan ku pinta dalam doa hati meruntih sesak ku hempas. Genggaman kepalan tangan ku ku menusuk dalam amarah kekecewaan ku kota mu Munasely tak tertata sebening tuturan sang leluhur.
Munasely, 01/05/2018
Karya : Gabriel Romelus Ladang.