Bila kita mempelajari sejarah pendidikan di tanah air khususnya Kabupaten Alor, maka setidaknya bisa dibedakan dalam empat rentang waktu, yakni: masa raja-raja lokal-prakolonialisme, masa kolonialisme Hindia Belanda-prakemerdekaan, masa Orde Lama, masa Orde Baru,dan Revormasi.
Salah satu benang merah yang dapat ditarik dari sejarah pendidikan dan persekolahan di tanah air khususnya kabupaten Alor adalah bahwa sistem pembelajaran sebagaimana diselenggarakan selama Orde Baru (KTSP 2006) harus dimunculkan kembali kepermukaan karena terbukti lebih baik, lebih mendidik dan lebih berkualitas dalam membentuk karakter manusia bukannya menjajah, memasung, dan mengkerdilkan jiwa kaum muda Indonesia khususnya manusia Alor. Alasan ini mempunyai dasar yang cukup kuat menurut pandangan saya, cobalah kita liat, temukan dan bandingkan.
Karakteristik, ahlak dan etika siswa Orde Baru/Orde Lama “lebih baik, lebih sopan, lebih berpendidikan” ketimbang siwa pada Masa Reformasi. Cobala kita perhatikan anak-anak kita dirumah kelakuannya semakin hari semakin aneh. Perintah orang tua suda mereka abaikan apalagi perintah para Guru mereka disekolah masing-masing.
Semua ini dikarenakan adanya tekanan Kurikulum yang terus di ubah. Kita tidak seharusnya menyalahkan kaum pengajar atau para pejabat Pendidikan , mari sejenak kita berfikir normal mereka para Guru juga manusia bukan Malaikat atau Tuhan yang serba tau segalanya. Saya teringat dengan kalimat seorang komedian Abdur namanya bahwasanya : Tekanan Kurikulum yang terus berubah serta memaksakan para guru untuk terus maju dan bersaing dalam menggunakan Laptop demi mewujudkan generasi berwatak Global, bayangkan jika yang kita paksakan adalah Guru-guru tua yang perna mengajarkan ilmu kepada kita hingga kini kita pintar dalam mengkritisi mereka, menganggap mereka tidak berguna lagi pada erah ini.
Memang benar adanya bagaimana mungkin siswa akan pintar dan cerdas jika Gurunya pun suda tidak dihargai lagi, banyak suda media yang memuat tentang kekejaman siswa terhadap gurunya, bahkan siswa sampai berani menghilangkan nya guru hanya karena hal sepele, apa yang bisa dilakukan guru…..??? hanyala diam dan menunggu kematian dikarenakn HAM dan Hak perlindungan anak. Dahulu ada sebua semboyan “ diujung rotan ada emas “ namun kini semboyan itu diganti dengan “ diujung rotan ada Lembaga Pemasyarakatan (LP) “ dahulu hanya dengan menggunakan coretan kapur tulis yang berdebu namun banyak melahirkan generasi penerus yang berkualitas, bandingan itu wahai para pembaca anda pasti bisa menjawab sendiri.
Kita tidak bisa menyalakan siapapun baik siswa, guru, Orang tua ataupun para Kepala Pendidikan, siapun orangnya, yang jelas ia ingin adanya peningkatan mutuh pendidkan anak bangsa lebih baik adanya, namun semua itu tidak segampang membalik telapak tangan, harusla melalui sebua proses panjang dengan terus berusaha memperbaiki kekurangan dan meningkatkan prestasi sambil beradaptasi dengan IPTEK
Kita orangtua tidak mau repot, karena memang tidak sungguh-sungguh peduli. Bagi sebagian besar orangtua, ‘mendidik’ anak itu hanya berarti mempersiapkan uang sekolah, membelikan seragam, buku-buku dan perlengkapan belajar lainnya seperti Handphon. kita para orangtua terlalu sibuk mengejar uang hingga lalai mendapingi anak untuk belajar dirumah, membiarkan anak bebas bergaul, bebas berinteraksi dengan dunia luar lewat dumay, banyak sekali kasus yang kita tahu salah satunya adalah siswa tidak bisa mengikuti ujian karena telat datang bulan (hamil diluar nika). Siapakah yang perlu disalalahkan…….??? Waulahualam Hanya Tuhan yang tau. Mari kita sama berfikir untuk menemukan jalan keluarnya, jangan mengkambing hitamkan oknum tertentu.
Demikianlah apa yang seharusnya merupakan proses pembagian tugas dan tanggung jawab dalam mempersiapkan tunas-tunas bangsa menjadi pemimpin-pemimpin masa depan, jangan biarkan pendidkan dinegeri ini mendadak sontak semuanya runtuh jadi debu, jangan biarkan masa depan anak-anak kita runtuh lalu mereka menangis bertalu-talu, Segala sesuatu menjadi kacau balau. Semua berteriak, tapi tak ada yang mendengar. Semua mendengar, tapi tak ada yang mengerti. Mengapa oh mengapa? Mari kita wariskan semangat perjuangan perndidikan para leluhur di negeri Alurung ini, jangan biarakan semangat itu terkubur dalam lembah Nestapa nan gulita. Mari bangkit bersama bergandengan tangan untuk memajukan Pendidikan Alor yang Lebih Baik.
Sekali lagi, inilah mungkin akar permasalahannya: kita tidak menyadari ketidakmampuan seluruh anggota masyarakat kita untuk berbagi tugas dan tanggung jawab dalam mendidik, mengajar, dan melatih tunas-tunas bangsa, kaum muda yang sedang berproses mencari jati dirinya, jati diri komunitasnya, jati diri bangsa dan masyarakatnya, serta tahap penyesuaian kurikulum Revisi 2013 (K13). Dan yakinla kita pasti bisa.
Karena tidak sadar, maka kita tidak mau belajar. Karena tidak belajar, maka kita tidak pernah mengalami metanoia, tidak berubah dari tidak mampu menjadi berkemampuan.
Mungkin saja saat ini kita bertanya-tanya apakah dalam 20 tahun ke depan pendidikan kita juga masih akan melahirkan air mata? Apakah generasi yang saat ini berusia muda, kelak akan kembali mengikuti jejak kakak-kakaknya menjadi sarjana-sarjana Burung Beo dan mesin penghafal yang selalu bekerja mengandalkan “kekerasan otot”, “politik uang”, dan sejenisnya? Kalau ya, saat itu mungkin tangisan kita telah beralih wujud menjadi air mata darah.
Salam damaila dunia pendidkan Alor untuk kita semua.
Alor-Lewalu,Papajahi 12 Juni 2018