Memangkas birokrasi guna peningkatan pelayanan publik yang diretorikakan Presiden terpilih, sama sekali tidak diragukan. Karena karakter kepemimpinan lima tahun sebelumnya, telah menandakan keyakinan itu. Banyak lembaga telah dibentuk, banyak aturan telah dibuat tetapi pengalaman lebih banyak mengajarkan bahwa upaya pemberantasan korupsi di Indonesia ibarat keinginan orang menjamah langit biru. Artinya upaya pemberantasan korupsi akan tetap menjadi mimpi semua orang, kalau tidak ada moral politik untuk mengambil tindakan tegas, dan tidak ada perubahan perilaku yang radikal atas korupsi, sehingga korupsi tetap merajalela.
Sesungguhnya budaya korupsi di Indonesia mempunyai akar sejarah yang panjang. Sartono Kartodirdjo (1988) mengatakan bahwa gejala korupsi, berakar pada kebudayaan birokrasi zaman kolonial yang bercirikan ambivalensi, antara struktur semi feodal dan legal rasional. Kasus Lebak (1850) menggambarkan, bagaimana pemerintah Belanda membiarkan Bupati Lebak mempraktekkan pemerintahan yang penuh dengan malversasi (istilah resmi yang dipakai saat itu) dan mentolerir berbagai pungutan sebagai sesuatu yang lumrah. Asisten Residen Dowes Dekker (Multatuli) yang mengeritik cara penyelenggaraan pemerintahan yang tidak semestinya ini, malah harus dipindahkan dari Lebak. Benterun kepentingan pemerintah tingkat atas dengan pemerintah tingkat bawah ini, merupakan keterjebakan pemerintah Belanda, yang pada satu pihak membutuhkan birokrasi modern, sedangkan pada pihak lain membiarkan bawahannya menyalahgunakan kekuasaan. Sesungguhnya ketidakberdayaan pemerintah seperti ini tengah juga melanda kita. Dalam memberantas korupsi, sikap ambivalen dan refeodalisasi birokrasi di Indonesia, dapat dikaji pada beberapa hal sebagai berikut.
Pertama, korupsi yang tumbuh subur dan menggurita dalam wilayah birokrasi, memperlihatkan birokrasi modern kita cenderung bersifat ambivalen dan sangat toleran terhadap korupsi. Kedua, terkontaminasinya birokrasi menjadi biro jasa oleh kekuasaan pasca reformasi, membuat kekuasaan dan jabatan disalahgunakan untuk pelayanan jasa, dengan mengejar komisi dan upeti. Terpolanya struktur korupsi ini dengan sendirinya membentuk suatu sistem korupsi yang resisten terhadap kolusi dan nepotisme. Ketiga, adanya praktek korupsi, dengan berbagai pola dan sikap pembenaran, menggambarkan penggunaan kekuasaan untuk meraup berbagai macam rente ekonomi, ditumbuhkembangkan secara terpola. Dengan demikian mesin birokrasi yang dijalankan selalu melebarkan akomodasi kepentingan politik maupun ekonomi yang tidak rasional dan tidak obyektif.
Perilaku demikian disebut Lawrence Whitehead, sebagai birokrasi negara yang kleptokratik (kleptocratic state). Birokrasi semacam ini perilakunya tidak rasional, dimana kekuasaan yang dimilikinya selalu disalahgunakan. Malah ada kecenderungan mengawini jabatannya, sehingga perilaku korupsi menyerupai interaksi yang terjadi dalam pasar. Harus ada harga tertentu yang dibayar kepada birokrasi dengan komoditas yang diperdagangkan adalah otoritas dan kekuasaan. Keterperangkapan birokrasi dalam dialektika pelaksanaan tugas yang padat dengan persepsi negatif, membuat Osborne (1992) mencoba membesarkan hati para penyelenggara birokrasi dengan mengatakan: “yang jelek adalah birokrasi, tetapi tidak otomat birokratnya jelek”. Merujuk pada apa yang dikatakan Osborne, sesungguhnya jeleknya birokrasi, karena jeleknya perilaku pribadi aparatur.
Keserakahan
Berangkat dari persoalan ini maka kejelekan perilaku, kebanyakan merupakan perbuatan perorangan yang mengindividukan jabatannya, atau mempribadikan kekusaanya dengan mengembangkan bebagai pola korupsi. Hal ini telah menggiring aparatur untuk menciptakan suatu dunia yang ditata secara artifisial yang tetap mengabaikan kepentingan umum untuk mengumpulkan kekayaan dan prestise. Segala macam cara untuk mengumpulkan harta secara tidak halal, tetap dilakukan tanpa rasa malu. Malah ada kecenderungan mensentralisasi seluruh kegiatan yang ada duitnya. Seluruh yang namanya uang dilahapnya, sehingga pekerjaan rutin tanpa uang selalu diabaikan. Keserakahan demikian dapat dilihat:
Pertama, selalu melahap seluruh pekerjaan yang ada kontraprestasinya, mulai dari transaksi besar sampai transaksi peniti dilakukannya sendiri. Dengan demikian, bukan hanya isi daging, tetapi tulang belulangpun dilahapnya, tanpa memikirkan sisanya untuk orang lain. Tipe pejabat ini: (1) Sangat rajin bekerja. Bahkan dalam sebulan bisa bekerja lebih dari enam puluh hari kerja. Oleh karena kaki sebelahnya ada di Jakarta untuk melakukan konsultasi dan antar surat, sedangkan kaki yang lainnya ada di Kabupaten untuk koordinasi. Kantor atau unit kerja hanya dikangkangi; (2) Selalu menengadah ke atas dengan membawa nama orang lain yang lebih tinggi jabatannya seperti: Gubernur, Bupati, bahkan Menteri, untuk membangun alasan pembenaran atas apa yang dilakukannya atau apa yang mau dilakukannya; (3) Suka menghidupkan konflik internal antar staf melalui pemberian tugas atau pengambilalihan tugas orang lain kepada orang atau pejabat yang disukainya, dengan mengabaikan tugas pokok dan fungsi yang melekat pada jabatan yang ada. Bahkan yang lebih menarik adalah hanya mempekerjakan bendahara dan pimpinan proyek, sehingga selalu ada sinisme: jika urusan uang, selalu ada kesepakatan “hanya kita dua sa” sedangkan untuk program yang dikerjakan pimpro, juga demikian.