Diakui bahwa birokrasi di Indonesia adalah warisan kolonial yang sangat sarat kepentingan kekuasaan. Struktur, norma, nilai, dan regulasi, selalu diwarnai orientasi pemenuhan kepentingan penguasa daripada pemenuhan hak sipil warga negara. Misi utama birokrasi dalam paham kolonial adalah untuk mempertahankan kekuasaan dan mengontrol perilaku individu. Disini para birokrat dan politisi terobsesi menjadikan birokrasi sebagai lahan pemenuhan hasrat dan kekuasaan (power culture). Akhirnya birokrasi menjadi mesin negara yang paling mudah untuk mengontrol perilaku masyarakat, dan dimanfaatkan untuk mempertahankan kekuasaan.
Kooptasi birokrasi ini, terus berjalan sampai sekarang. Keadaan ini tidak saja membentuk sikap, perilaku, nilai, kultur para pejabat birokrasi, dan sistem kerja, tetapi juga cara pandang dan budaya interaksi rakyat terhadap birokrasi. Bahkan dengan praktek pemilihan langsung kepala daerah, birokrasi semakin terbelah oleh penajaman kekuatan kekuasaan, yang menyebabkan profesionalisme tidak dienergikan secara komperhensif, tetapi diirasionalkan oleh afiliasi politik birokrat terhadap kepala daerah. Oleh karena yang dikejar dalam mengisi rumah birokrasi adalah ruang untuk melebarkan kepentingan secara bergerombolan.
Realitas kepentingan bergerombolan ini, membuat mutasi jabatan tidak mampu membebaskan kekuasaan dari kefanaan dendam dan kesenangan pesta demokrasi. Akaibatnya: (1) Maksimalisasi komitmen politik untuk melakukan kerja berkelanjutan sebagai fondasi untuk mentransformasikan hakekat misi pemerintah, tidak dilakukan secara komperhensif dab berkelanjutan dengan menempatkan pejabat pada jabatan yang tepat berdasarkan profesionalisme. Banyak kecurigaan, hal ini sering diabaikan. Karena masuknya pikiran pembisik dari sekerumunan orang yang menyetor muka dan berbuat baik dalam prosesi kemenangan, dengan memburuk-burukkan hasil kerja orang dan lembaga. Disinilah letaknya. Apakah seorang kepala daerah terpilih bisa membedakannya? Terlalu samar untuk dijelaskan. Karena kesenangan pada kekuasaan membuat orang cepat lupa jasa orang, dan lebih cepat mengakomodir pikiran penyetor muka, dari pada orang yang bekerja untuk kemenangannya.
(2) Tindakan jual beli jabatan yang didorong modus kepentingan keluarga dan kelompok dalam arogansi perkauman kampung, sesungguhnya menyalahgunakan banyak hal dan menjauhkan birokrasi dari rasa keadilan yang di harapkan dari bangunan institusi birokrasi. Deepak Chopra menjelaskan, tindakan yang dimotivasi ketulusan, bukan egosentirme, akan menghasilkan energi berlimpah yang dapat digunakan untuk menciptakan apa yang dikehendaki. Sebaliknya jika perbuatan itu didorong modus “memiliki” dan menguasai orang lain dengan sejumlah uang, dibutuhkan konsumsi energi yang banyak. Selain itu, perbuatan yang berorientasi pemujaan diri atas kekuasaan akan membuat kita dalam posisi defensif dan menyalahkan orang lain.
Apabila rasa keadilan birokrasi dirampas untuk kepentingan politik melulu, maka akan timbul kekacauan dan kemunduran kerja birokrasi yang pada gilirannya akan memperlemah rasa tanggung jawab. Padahal fondasi utama birokrasi, adalah bekerja untuk kekuasaan sebagai tanggung jawab, mentalitas dan moralitas. Tanpa itu, maka bangunan birokrasi tetap berpijak pada fondasi yang rapuh dan disfungsional. Jika motivasi kerjanya rapuh, maka profesionalisme juga akan mengalami disfungsional. Akibatnya negara dan rakyat bukan di abdi, tetapi di akali. Sudah waktunya kita memandang (theoria) pendelegasian kekuasaan pada jabatan birokrasi sebagai peristiwa apolitik pendelegasian wewenang untuk mengoptimalisasi kemulaiaan kesejahteraan rakyat. Bukan penguatan kepentingan politik dan penceraiberaian irasional profesi dan kinerja dengan menjaulbeli jabatan.
Salam hormat dari Niha Oneng Fatukoa. 26 Juli 2019