Oleh : Denny Siregar
“Jangan cemen, pak.. Kejadianmu tak sebanding dengan jutaan nyawa melayang..”
Begitu bunyi status dari seorang wanita, yang belakangan diketahui ia adalah istri dari Dandim di Kendari. Status itu masih ditambah dengan emoticon ketawa dan ditujukan kepada Wiranto, Menkopolhukam yang menjadi korban penusukan.
Sontak status ini mendapat sorak sorai dari kadal gurun yang memang mencoba merapat ke TNI, dalam usaha mereka membenturkan institusi ini dengan pemerintah dan Polri.
TNI memang dikabarkan sebagai salah satu institusi yang terpapar radikalisme, dengan jumlah tidak main-main sekitar 3 persen anggota. Diduga keras, paparan radikalisme ini bukan pada saat perekrutan, tetapi justru di kelompok2 pengajian umum yang dihadiri para istri tentara.
Ketika Menhan mengakui ada paparan radikalisme di TNI, saya cemas. Sangat berbahaya. Apalagi pola kelompok Hizbut Thahrir diseluruh dunia sama, yaitu menyusup ke dalam tubuh tentara dan kemudian melakukan kudeta disana. TNI menjadi kendaraan penting bagi Hizbut Thahrir karena mereka memegang senjata.
Dan ketika berhadapan dengan TNI, jelas polisi kita gagap. Mereka cenderung tidak mau dibenturkan dengan institusi.
Lihat saja saat penangkapan mantan Danjen Kopassus yang diduga kuat terlibat dalam usaha pembunuhan dengan sniper, saat demonstrasi di MK bulan Mei lalu.
Banyak purnawirawan TNI dengan pangkat tinggi membela rekannya yang tertangkap, padahal sudah jelas dia punya andil besar dalam usaha pembunuhan itu.
Situasi ini yang dimanfaatkan oleh kelompok radikal dengan selalu memuji TNI sebagai pelindung mereka, sedangkan polisi adalah musuh besar mereka. Tujuannya apalagi selain membenturkan kedua institusi itu, dan mereka menari diatas puingnya