Nasution (2004) dalam bukunya yang berjudul Komunikasi Pembangunan : Pengenalan Teori dan Penerapannya, dengan optimis menekankan akan pentingnya paradigma pembangunan manusia dalam setiap konsep atau gagasan pembangunan. Baginya, paradigma pembangunan manusia adalah sebuah cara pandang baru yang diperlukan untuk meningkatkan laju kemajuan pembangunan. Paradigma tersebut berfokus pada manusia itu sendiri sebagai fokus dan sumber utama pembangunan. Dengan kata lain, paradigma pembangunan manusia menekankan pembangunan manusia itu sendiri menjadi manusia yang utuh dan merdeka atau secara ekonomi produktif dan secara sosial efektif.
Kemerdekaan secara ekonomi dan sosial tentunya menjadi parameter kesejahteraan setiap warga negara. Tingginya tingkat produktivitas dan efektivitas menjadi harapan bagi setiap orang, termasuk masyarakat NTT pada khususnya. Sayangnya, harapan tersebut kadang memperlihatkan jarak kesenjangan yang jauh dengan realitas. Tidak heran, dengan stigma negatif sebagai provinsi termiskin ketiga secara nasional, sebagian masyarakat NTT berusaha mencari rezeki di tanah orang sebagai tenaga kerja, entah secara legal-prosedural maupun dengan cara ilegal-non prosedural. Fatalnya, perantauan telah dijadikan solusi ideal untuk memecahkan setiap permasalahan ekonomi. Namun, secara teoritis-praktis, hal tersebut dibenarkan ketika pemenuhan kebutuhan merupakan hal niscaya bagi setiap persona untuk bisa mempertahankan eksistensinya di tengah realitas. Dengan kata lain, demi mencapai kemerdekaan ekonomi dan sosial, setiap orang akan menunjukan afirmasinya sebagai insan pekerja (homo faber) yang senantiasa bekerja untuk mempertahankan hidupnya, dan salah satunya melalui perantauan sebagai tenaga kerja (TKI) di tanah orang.
Berdasarkan data BP3TKI Kupang, dari tahun 2015 hingga 2019 terdapat 326 kasus meninggalnya TKI asal NTT dimana 308 kasus kematian tersebut menimpa TKI yang berstatus illegal-non procedural dan hanya 18 kasus yang berstatus legal-prosedural (BP3TKI Kupang). Kondisi tersebut secara tidak langsung juga mempengaruhi Pemerintah Provinsi NTT untuk memberlakukan moratorium pengiriman tenaga kerja non prosedural ke luar negeri. Hal itu teraktualisasi dalam SK Gubernur NTT tentang Moratorium TKI NTT tanggal 14 November 2018 serta Surat Edaran Dirjen Imigrasi Nomor IMI-0227.GR.02.2017 tentang pencegahan TKI Non Prosedural. Namun, sayangnya hal tersebut tidak mampu menekan kasus TKI illegal-non prosedural ketika data menunjukan bahwa sepanjang Januari hingga Oktober 2019 terdapat 88 kasus kematian TKI dengan hampir 90% berstatus illegal-non prosedural. Dengan demikian, apakah moratorium dan kebijakan para pemegang kekuasaan gagal dalam mempersempit jarak kesenjangan antara harapan dan realitas? Ataukah pengimplemetasian regulasi tersebut terhalang manuver cerdik para mafia perdagangan manusia (human trafficiking)? Hal tersebut menyiratkan sebuah kemunduran peran pemerintah dan masyarakat dalam membina, mengawasi, dan menyediakan lapangan kerja bagi sesama saudara kita di tanah Flobamora yang terkemas rapih dalam potret buram pembangunan.
Jika kembali merujuk pada konsep pembangunan yang berkiblat pada manusia (baca : masyarakat) menurut Nasution, maka kebijakan pencegahan pengiriman TKI yang digencarkan oleh pemerintah harus dibarengi dengan peningkatan kapasitas TKI itu sendiri. Maraknya kasus pengiriman TKI illegal-non prosedural pada umumnya disebabkan oleh problematika administrasi dan kurangnya kecakapan atau keterampilan sebagai seorang tenaga kerja yang kompeten. Salah satu bentuk pembangunan manusia dalam konteks ini adalah dengan meningkatkan peran dan substansi pendidikan sebagai wadah pembangunan di tengah spesifikasi tuntutan realitas.
Menurut Durkheim dalam Martono (2012 : 197-198), pendidikan berfungsi sebagai pemberi keterampilan khusus bagi individu, yaitu berbagai keterampilan yang dibutuhkan untuk pekerjaannya di masa mendatang. Hal tersebut sejalan dengan evidensi masa kini bahwa perubahan sosial juga disebabkan oleh faktor demografis (kependudukan) berupa pertambahan penduduk yang secara perlahan mengubah struktur sosial, meningkatkan kepadatan penduduk, hingga menghasilkan pembagian kerja (division of labour). Hal tersebut akan menuntut setiap individu untuk memenuhi perannya di tengah masyarakat sebagai mahkluk pekerja (homo faber). Maka dari itu, fungsi pendidikan merupakan bagian penting dalam masyarakat industri yang semakin kompleks dan menspesifikasikan pembagian kerja.
Dalam korelasinya dengan kasus TKI, pendidikan sebenarnya berperan penting dalam meningkatkan kompetensi, keterampilan, dan kecakapan para (calon) TKI agar menjadi praktisi lapangan yang siap sedia dalam industri pekerjaan. Dunia pendidikan harus mampu mereformasi seluruh substansi kurikulumnya menjadi lebih elegan dan relevan dengan tuntutan dunia ketenagakerjaan. Hal tersebut selaras dengan pemikiran Michael W. Apple, seorang professor di bidang pendidikan dari University of Wisconsin yang menyatakan bahwa pendidikan yang dalam hal ini adalah sekolah sebagai penyalur pendidikan bertanggung jawab atas proses transfer makna dari produksi pengetahuan yang tertuang dalam kurikulum. Artinya pendidikan tidak hanya sebatas pada produksi pengetahuan tetapi juga bertanggung jawab atas konstruksi makna di dalam pengetahuan tersebut dalam proses perjalanan para peserta didik di kemudian hari.
Pada akhirnya rentetan kasus TKI asal NTT harus menjadi sebuah refleksi dan otokritik bagi seluruh masyarakat NTT, terkhususnya para pemimpin yang secara moril mengemban tugas untuk menanggapi persoalan TKI asal NTT yang selalu berada dalam siklus perantuan tersebut. Singkatnya, para pemimpin harus cermat membangun dunia pendidikan yang lebih baik dalam beberapa perspektif pembangunan. Yang pertama berorientasi pada kebutuhan. Artinya, berusaha menjamin proses pembangunan manusia melalui pemenuhan kebutuhan masyarakat akan kreativitas, inovasi, keadilan sosial, serta pemahaman dan penentuan tujuan akan masa depan masyarakat berdasarkan kapasitasnya masing-masing.
Yang kedua, harus berpihak pada prinsip endogeneous yang berarti bertolak dari inti dan potensi masyarakat dalam merumuskan segala program pembangunannya berdasarkan kedaulatan, nilai-nilai dan pandangan masyarakat atas masa depan mereka sendiri. Hal tersebut mampu menjawab kebutuhan dan kespesifikan dari setiap masyarakat. Dan yang ketiga adalah mengandalkan kemampuan sendiri yang berarti berusaha menciptakan individu dan kelompok masyarakat yang produktif secara ekonomi dan efektif secara sosial agar menghindari suatu bentuk ketergantungan dalam proses pembangunan. Maka dari itu, penguatan sumber daya manusia selalu menjadi acuan dalam memberdayakan sebuah masyarakat lewat pelatihan dan diskusi produktif yang bersifat positif-konstruktif.(MA/brt)