Dikalangan guru-guru, perubahan pola anak-anak siswa memang hangat dibahas. Karena mungkin sudah terbiasa dengan satu generasi tertentu, ketika melihat perubahan generasi kekinian, yang dikenal dengan generasi milenieal, kadang bisa membuat geleng-geleng kepala menghadapinya. Mulai dari pola pikir kritisnya,etikanya, perilakunya, kadang saya sebagai guru berpikir, “ kok anak-anak bagaimana yaa.. Cara menghadapinya?” sebagai guru saya dihadapkan pada siswa yang tidak berbeda jauh dengan saya. Kalau dibilang angkatan saya lahir itu generasi Y. Masih generasi transisi antara generasi internet dengan generasi yang masih serba analog.
Generasi milenial, tergantung sumbernya adalah generasi yang pada intinya adalah generasi yang lahir di zaman teknologi dan informasi. Mudahnya umumnya lahir diatas tahun 1995. Generasi ini adalah generasi yang berlimpah secara informasi yang berwawasan luas dan kaya akan data karena mudah dalam mencarinya.
Pembelajaran Terkait Kehidupan sehari-hari
Sebagai generasi multimedia, siswa lebih suka diberikan pembelajaran berbasis multimedia, kesempatan berkolaborasi, dan kemampuan mencari serta merangkumkan informasi sendiri. Disinilah kemudian tugas guru lebih kearah menjadi fasilitator untuk “meluruskan” jika ada sesuatu yang salah dipahami siswa untuk mencegah terjadinya sesat pikir.
Di mata pelajaran Sistem Komputer (kelas X), saya pernah mencoba untuk memberikan ‘tantangan kepada ’siswa untuk memecahkan masalah pada cara kerja sistem komputer dengan membuat model alur sistem yang kompleks. Caranya saya memberikan kebebasan kepada mereka melakukan riset, eksplorasi, namun jika mereka menemui kendala, mereka bisa bertanya pada saya. Disinilah letak peran guru, yaitu sebagai pemberi klarifikasi dan mencegah siswa untuk tidak salah logika dalam mengambil sebuah kesimpulan dari proses belajar.
Generasi Milenial adalah generasi yang menghargai sebuah informasi karena relevan dengan kehidupan mereka. Maka disini peran guru adalah menyortir materi-materi yang ada di buku, mana yang relevan dan akan banyak digunakan dalam kehidupan siswa dan mana yang tidak. Sudah bukan zamannya lagi seorang guru meyuapi seluruh materi yang ada di buku tanpa siswa tahu apa manfaatnya untuk mereka.
Pembelajaran yang menyentuh dan dapat diterima akal sehat
Tidak seperti generasi sebelumnya yang didik dengan pola otoriter, para generasi milenial ini banyak dibesarkan dengan pola – pola demokratis oleh orang tua atau lingkungan mereka. Sehingga, generasi milenial ini akan cenderung respek kalau tugas dan kebijakan yang diterapkan rasional.
Saya mendapati hal ini ada benarnya , ketika banyak siswa yang mengeluhkan disaat saya memberikan tugas yang tidak tapat sasaran. misalnya adalah adalah menerjemahkan buku teks. Hal yang mereka tanyakan adalah : apa esensinya menerjemahkan buku teks? Beberapa dari mereka masih bisa menerima jika merangkum, tapi kalau menerjemahkan itu tidak rasional.
Nah, saya sadar dan sebenarnya hal – hal seperti ini dapat dihindari apabila kita sebagai guru memberitahukan apa esensi atau rasionalitas dalam memberikan tugas atau menerapkan kebijakan kelas. Pengalaman saya memberikan tugas kepada siswa, selalu saya mengawali dengan memberikan pemahaman lebih dulu terkait manfaatnya untuk mereka dan akhirnya banyak dari mereka yang respek karena tugas dan hal yang dilakukan dikelas itu rasional.
Belajar merupakan hal yang menyenangkan
Berbicara tentang proses belajar mengajar tidak harus tegang, monoton dan terlalu formal tetapi bagaimana cara kita membawa kelas itu lebih santai dan bisa membuka diri bagi siswa dalam hal mau mendengar keluhan mereka. Namun, tetap saya menerapkan batas-batas tertentu, apalagi dalam etika orang timur. Jika sudah melewati batas, maka siswa akan mendapat teguran tegas.
Kesimpulan
Milenial mungkin bukan orang yang banyak teman dekat, tetapi sekali dekat mereka bisa sangat loyal. Hal ini sangat sederhana. Saya pernah mencoba, misalnya dengan mengingat nama, memanggil dengan ramah, menanyakan kabar mereka. Hasilnya, mereka cenderung untuk respek, terbuka dan berminat belajar tinggi jika memiliki kedekatan personal dengan gurunya. Pernah suatu ketika
Pertanyaannya : manakah hal paling sulit yang guru alami? Banyaknya siswa kadang membuat guru kesulitan mengingat nama, dan juga membangun kedekatan emosional degan mereka. Namun intinya, dari penulisan ini tujuan kita sebagai guru jelas, agar peserta didik kita mencapai learning outcome yang diharapkan.
Karakteristik generasinya cukup berbeda dibandingkan dengan generasi sebelumya. Menyesuaikan dengan kondisi milenial juga bukan berarti selalu guru yang menyesuaikan, namun siswanya juga.tulisan ini saya tulis semata – mata karena banyak guru yang mengeluh, “kok generasi sekarang begini sih?” namun guru tersebut tidak melakukan perubahan apapun. Materi yang diajarkan, tugas yang diberikan, dan cara mengajarpun itu – itu saja, padahal dunia sudah berkembang sesuai teknologi dan dan pola pendidikanpun telah berubah.
Buat anak anak siswa milenial, andapun juga harus tahu diri. Tidak sedikit dari guru anda yang mencoba menyesuaikan dengan gaya anda. Namun, anda juga harus respek dengan guru anda. Buat saya, akhlak jauh lebih penting daripada ilmu yang anda miliki. Banyak ilmu tapi tidak memiliki akhlak, ya dimanapun anda berada akan sulit diterima. Namun, jauh lebih baik jika anda sama – sama memiliki ilmu dan akhlak diatas rata – rata.
Semoga dengan ini akan tercipta sinergi untuk membuat pendidikan Indonesia khususnya daerah kita ini menjadi lebih baik lagi.