Oleh : Rahmad Nasir
Anggota KAHMI Alor
Lelaki itu…
Lihatlah sorot matanya, lelaki itu menatap nanar ke arah benda pusaka bernama “Moko”. Bahasa ilmiahnya adalah Nekara yang biasanya berbahan dasar perunggu, besi, tembaga dan emas. Mengapa tidak nanar? Ia harus memiliki benda yang terbilang mahal ini untuk mempersunting gadis idamannya di Negeri Nusa Kenari. Semakin hitam semakin mahal, semakin lama usianya pun semakin mahal. Usia benda ini berabad-abad lamanya, sebagian orang Alor percaya bahwa benda ini tumbuh dari dalam tanah sebagian lain yakin kalau ini dibawa bangsa Cina beratus-ratus tahun lamanya ketika berdagang ke Alor.
Lelaki itu…
Setelah melalangbuana keliling Nusantara mencari tulang rusuk kirinya yang sementara disembunyikan sang Ilahi, lelaki muda ini akhirnya mulai berfikir untuk mempersunting gadis yang ada di kampung halamannya. Entahlah, apa yang menjadi alasan atau argumentasinya? Bukankah biasanya kita mendengar adagium “rumput tetangga lebih hijau”?. Dari tatapannya penuh harap untuk memiliki benda ini menunjukkan keseriusannya dalam memperjuangkan cintanya. Meskipun kondisi keuangannya belum menentu, namun tekatnya yang bulat akan menyelesaikan sebisa mungkin persyaratan agama maupun dari sisi adat masyarakat Nusa Kenari.
“Belis” dalam bahasa agama yang biasanya cukup bahkan sangat mahal serta “mahar” dalam bahasa agama yang biasanya simpel dan mudah. Untuk melestarikan budaya lelaki itu dituntut untuk membayar belis untuk gadisnya, sementara sebagai manusia beragama ia harus menyiapkan mahar pernikahan. Lelaki itu ingin menunjukkan dirinya sebagai manusia berbudaya yang taat asas adat dan sebagai manusia beriman yang beragama. Konsekuensi sebagai lelaki untuk menjaga harga diri keluarga menjadi penting dalam pandangannya.