Salah satu pengasuh Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo tersebut menekankan adanya pemahaman kontekstual terhadap teks suci dengan mempertimbangkan adat lokal (urf) demi kemaslahatan tak hanya dari segi ukhrawi tapi juga duniawi.
Lebih jauh Azhar Ibrahim dari Universiti Nasional Singapura memandang Islam yang terbangun di Indonesia bisa menjadi teladan kepada negara-negara Muslim lain, termasuk warga dunia yang lebih besar.
Ia mengatakan, sarjana dan pemerhati telah membayangkan bahwa Islam Nusantara akan menjadi daerah paling cerah dalam dunia Islam. Sebab, kehidupan mayoritas Muslim di Timur Tengah, Benua Kecil India, Afrika Utara dan Afrika Tengah, sedang terhimpit oleh konflik dan keganasan.
“Walaupun tidak menelurkan gagasan filsafat yang rasional ataupun menghasilkan kesarjanaan Islam yang tinggi, Islam Nusantara mempunyai potensi besar untuk menyumbang kepada dunia Islam, malah perdaban dunia,” tuturnya.
Menurutnya Azhar, hal tersebut berakar pada enam poin penting, yakni pengalaman sejarah, orientasi agama yang dominan, pribumisasi Islam yang mengakar, penghargaan dan keteguhan terhadap turats (tradisi), terbangunnya institusi atau kelompok yang mengedepankan wacana Islam inklusif dan dialogis, serta peran ormas dan para pemikir Indonesia yang mencerahkan.
Meski mengajukan fakta dan landasan normatif, semua pembicara tidak memberikan pengertian definitif dan operasional tentang istilah “Islam Nusantara”. Namun, mereka sepakat bahwa ia berkarakter membumi dengan realitas kebudayaan setempat.
“… Yang ‘paling Indonesia’ di antara semua nilai yang diikuti oleh semua warga bangsa ini adalah pencarian tak berkesudahan akan sebuah perubahan sosial tanpa memutuskan sama sekali ikatan dengan masa lampau,” kata Azhar mengutip pernyataan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) saat menutup pembicaraan. NU