Melalui Sumpah Pemuda: Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa Indonesia, merupakan titik awal bagi proses pembentukan Negara bangsa yang kemudian dikenal sebagai Negara dan Bangsa Indonesia. Kongres para pemuda ditahun tersebut tentunya tidak bisa dibayangkan seperti rapat umum di zaman sekarang.
Rapat Umum para pemuda kala itu tentu berada dibawah baying-bayang kekuasaan kaum kolonialis, sehingga akan terjadi banyak kesulitan yang dihadapi.
Meskipun begitu, para pemuda dengan sangat antusias dan semangat akhirnya dapat mencetuskan gagasan mengenai Indonesia pasca penjajahan, Indonesia merdeka.
Banyak pemuda yang tidak lagi memiliki akar budayanya sesuai jati diri pribadi. Globalisasi dijadikan sebagai kambing hitam atas perubahan perilaku ini. Keberadaan budaya bangsa sebagai identitas nasional sudah mulai pudar di kalangan generasi muda. Akulturasi bukan lagi menjadi perdebatan yang patut dipersoalkan. Namun, akulturasi seakan diterima begitu saja tanpa batasan yang jelas. Tak ayal lagi, budaya bangsa semakin terpojok akibat terpaan dari budaya asing. Akulturasi bukan lagi menjadi sebuah proses penerapan nilai-nilai luhur budaya, namun lebih dari itu, akulturasi seakan menjadi ancaman terhadap ketahanan budaya bangsa.
Satu hal yang patut disayangkan, generasi muda yang menjadi tumpuan harapan bangsa, turut larut dalam fenomena ini. Banyak pemuda yang tidak lagi peduli dengan akar budayanya. Banyak pemuda yang tanpa mereka sadari telah menjadi korban terpaan budaya asing dan menjadi korban dari sebuah akulturasi yang kebablasan.
Dapat kita lihat berapa banyak pemuda yang masih mengenal budaya lokal mereka. Berapa banyak pemuda yang masih paham dengan bahasa daerah. Apalagi jika kita uji, berapa banyak anak muda yang mampu memainkan alat music tradisional atau membawakan sebuah tarian tradisional? Sungguh miris memang. Namun, itulah kenyataannya.
Generasi muda sebagai penggerak motor perubahan bangsa tidak lagi mengenal budayanya. Pemuda tidak lagi memiliki identitas budaya bangsa. Padahal jika kita boleh berbangga, Indonesia merupakan negeri yang kaya dengan adat dan budayanya. Indonesia memiliki ribuan warisan leluhur yang diwariskan secara turun temurun. Indonesia merupakan negeri dengan seribu satu keanekaragaman budaya. Indonesiamemiliki identitas yang jelas sebagai jati diri bangsa. Sudah sewajarnya kita bangga menjadi bagian dari negeri yang kaya ini.
Namun sayang, kekayaan yang melimpah ruah itu tidak dijaga dan di lestarikan secara sempurna. Semua sibuk dengan ajaran modernisasidan redup dalam arus globalisasi. Sehingga, kekayaan itu dengan muda diambil dan diakui oleh orang lain. Tentu kita tidak lupa dengan kasus lagu Rasa Sayangee, kasus Reog dan Angklung, dan yang paling miris ialah kasus Batik.
Jikalau saja bangsa ini lebih arif dan bijaksana dalam menyikapi, tentu beberapa kasus tersebut bisa menjadi cambuk untuk segera mengevaluasi dan memperbaiki usaha dalam melestarikan warisan budaya. Namun, euforia ketahanan budaya hanya berlangsung sebentar saja. Semua orang larut dalam suasana Perang untuk mempertahankan budayanya. semua hanya bisa berkoar dan mengecam para pelaku pencaklokan budaya. Namun, seiring berjalannya waktu, semua kembali kepada suasana semula. Semuanya kembali larut dalam riuh ricuhnya kehidupan manusia. Begitupun dengan pemuda. Apa yang bisa mereka lakukan hanya sekedar demonstrasi mengutarakan niat dan menyampaikan tuntutan. Mereka marah dengan aksi pencaklokan budaya oleh Negara tetangga. Tetapi, sadarkah mereka, bahwa jauh didalam lubuk hati sana, mereka juga masih belum menyadari apa itu budaya.
Hal ini menjadi sebuah kontradiksi yang memalukan. Bagaimana tidak, pemuda berkoar betapa pentingnya warisan budaya bangsa, generasi muda menuntut pelestarian budaya, pemuda mengecam atas tragedi pencaklokan budaya. Tetapi apa yang bisa mereka perbuat? Toh, budaya sendiri saja mereka masih belum memahaminya. Alih-alih untuk melestarikan budaya, memahami budaya saja barangkali masih menjadi prioritas yang paling akhir bagi keseharian mereka. Hal ini yang menjadi persoalan penting bagi kita dalam melihat hal ini sebagai permasalahan yang penting untuk kita cermati. Begitu banyak pemuda yang saat ini sudah tidak mengenal buadaya lokal mereka. Bahkan, lebih miris lagi, banyak diantara mereka yang sudah tidak bisa berbicara menggunakan bahasa Ibu mereka. Apalagi jika ditanya, mungkin hanya tinggal hitungan jari saja keberadaan para pemuda yang bisa memainkan alat musik dan tarian tradisional. Namun, apa yang dapat kita perbuat? Kampanye dan aktivitas sosial lainnya tampak masih belum cukup ampuh untuk menarik perhatian masyarakat sosial. Bahkan, seringkali orang yang melakukan hal itu menjadi objek ejekan dan gurauan semata.
Banyak anak muda yang menganggap mereka sebagai kaum kolot, kuno dan tidak mengikuti kemajuan zaman. Toh, dengan tuduhan seperti itu mereka tetap ada dan bertahan sekuat tenaga. Tentu hal ini tidak boleh dibiarkan begitu saja. Pepatah mengatakan, semakin tinggi pohon yang tumbuh, semakin kencang angin yang menderanya. Begitu juga persoalan krisis identitas sosial budaya. Semakin pesat perkembangan zaman, maka semakin besar kontribusinya terhadap krisis identitas sosial budaya di negeri ini, terutama di kalangan generasi muda.
Lantas, apa yang harus kita perbuat? Salah satu usaha yang bisa dilakukan ialahdengan meningkatkan kembali pendidikan kebudayaan di jenjang pendidikan Indonesia, dari tingkat dasar hingga pendidikan tinggi. Tidak hanya terbatas pada pendidikan formal semata, namun lebih kepada pendidikan nonformal. Hal ini terutama pada jenjang pendidikan tinggi. Kita mengetahui, generasi muda yang menempuh jenjang pendidikan tinggi memiliki tingkat produktifitas dan kreatifitas yang tinggi. Maka, hal itu merupakan sebuah modal yang perlu dikembangkan ke arah yang lebih baik. Sudah sepatutnya, jenjang pendidikan tinggi menaruh perhatian besar terhadap pendidikan kebudayaan terhadap mahasiswa.
Pendidikan kebudayaan yang penulis maksud bukanlah pendidikan formal yang memiliki Sistem Kredit Semester (SKS). Tetapi, di sini penulis menitikberatkan pada optimalisasi Unit Kegiatan Mahasiswa yang bergerak di bidang kebudayaan. Alangkah hebatnya jika di suatu perguruan tinggi memiliki banyak Lembaga Kemahasiswaan yang bergerak di bidang budaya. Perguruan tinggi yang memiliki taraf nasional tidak lagi mengangkat latar belakang budaya lokal sebagai ciri khas Universitasnya, namun ia mengangkat budaya nasional sebagai jati diri lembaganya. Optimalisasi Lembaga Kemahasiswaan dan juga lembaga di setiap sekolah formal yang bergerak di bidang budaya ini membuat sebuah iklim positif dalam pergaulan generasi muda. Tentu, dengan keberadaan beragam latar belakang budaya dalam sebuah perguruan tinggi akan meningkatkan pemahaman dan toleransi dalam keberagaman budaya dan adat istiadat. Sehingga, lebih lanjut, akan tercipta kehidupan yang harmonis dan saling menghargai. Jika hal itu telah terwujud, tentu akan membawa dampak positif bagi masyarakat sosial dengan luas.
Melalui program pengabdian kepada masyarakat, generasi muda khususnya mahasiswa bisa menjadi penggerak motor kampanye budaya kepada masyarakat luas. Lebih lanjut, pendidikan bisa menjadi embrio lahirnya budayawan yang memiliki latar belakang ilmu yang beragam. Pendidikan juga bisa menjadi pusat perkembangan paguyuban kebudayaan maupun sanggar seni tradisional yang melestarikan budaya bangsa. Namun, hal itu tidak akan terlaksana tanpa kerjasama dan bantuan dari banyak pihak. Dibutuhkan kerja keras untuk menyadarkan generasi muda terhadap budayanya. Dibutuhkan partisipasi positif masyarakat dalam mengembangkan warisan budaya. Dan, dibutuhkan dukungan yang nyata dari pemerintah terhadap kelestarian budaya bangsa. Hingga, pada akhirnya, sudah begitu jelas bahwa kebudayaan merupakan sebuah identitas bangsa yang menjadi pembeda dengan bangsa yang lainnya. Sudah begitu jelas bahwa pemuda adalah pewaris dari kekayaan budaya bangsa. Lantas, apakah bangsa akan tetap ada jika kebudayaan tidak lagi menjadi identitas para generasi muda? Maka, di sinilah makna nasionalisme itu berada.
Mencermati terhadap gerakan para pemuda pendahulu ini, maka kiranya tidak salah jika kemudian para generasi muda dapat menjadi agent of social change, baik dalam skala nasional maupun lokal. Gerakan para pemuda dalam kiprahnya ini juga memberikan catatan bahwa ada siklus 20 tahunan, di mana para pemuda memainkanperanan signifikan dalam kehidupan bangsa dan negara.
Oleh karena itu, dengan apapun yang kita miliki, berkontribusilah dan jadilah generasi muda yang bertalenta dan pikiran positif dalam pergaulan sosial, budaya, dan sebagainya. Tidak Perlu berusaha tuk menjadi orang lain sebab kamu adalah istimewa, dan lebih baik dari mereka.