Komarudin Hidayat (2006) mendefenisikan Kampanye politik sebagai proses transformasi informasi dalam beragam bentuk pesan politik kepada khalayak dengan saluran dan media komunikasi tertentu untuk mempengaruhi dan menciptakan opini publik. Kampanye politik adalah sebuah upaya yang terorganisir bertujuan untuk memengaruhi proses pengambilan keputusan para pemilih dan kampanye politik selalu merujuk pada kampanye pada pemilihan umum. Defenisi di atas memberikan gambaran bahwa ada satu proses mentrasfer sekaligus transformasi informasi kepada publik melalui berbagai metode yang kreatif dan tentu membutuhkan saluran/media agar sampai pada publik sekaligus mempengaruhi persepsi publik agar sesuai dengan keinginan politik pembawa pesan. Kampanye politik membutuhkan konseptor ulung sekaligus harus sinergis dengan biaya yang sesuai, apalagi dalam pemiliham umum kepala daerah tentu membutuhkan amunisi politik yang cukup.
Kampanye politik dilakukan oleh semua kontestan politik yang bertarung dalam satu perhelatan politik di tingkat lokal hingga dalam skala nasional. Akan tetapi gaya berkampanye tentu berbeda-beda sesuai dengan dinamika perhelatan politik di suatu wilayah/daerah. Biasanya dalam satu tim pemenangan ada satu bidang yang bertugas membentuk opini publik yang bisa saja mengarah kepada mengakses informasi kelemahan lawan politik untuk dijadikan komoditi politik bagi keuntungan timnya. Dalam pembentukan opini inilah akan terpola dalam dua bentuk kampanye yakni “negative campaign” dan “black campaign”. Kedua bentuk kampanye ini memiliki perbedaan yang sangat mendasar yakni dalam kampanye negatif segala kelemahan lawan yang dikampanyekan adalah suatu fakta objektif dan tentunya disampaikan secara proporsional. Sementara dalam kampanye hitam kampanye terhadap kelemahan lawan politik bukan suatu fakta dan hanya berdasarkan asumsi serta mengarah pada fitnah terhadap lawan politik, apalagi disampaikan dengan cara-cara yang tidak beretika. Hal inilah yang harus disadari para pegiat politik baik sebagai kandidat maupun para tim pemenangannya. Tentu sebagai rakyat harus juga memahami hal ini agar tidak mudah termakan isu-isu yang tidak benar yang disebarkan oleh pihak tertentu. Karena paradigma baru telah mengarah kepada masyarakat sebagai subjek politik dan bukan saja sebagai objek politik sehingga masyarakat juga berperan penting dalam memberikan pencerahan kepada sesama atau kepada para pemilih pemula.
Jika dilihat pada kampanye politik pesta demokrasi pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Alor, masih didominasi oleh kampanye hitam terhadap lawan politik. Hal ini sangat terlihat jelas pada aktivitas di media sosial yang menggambarkan saling serang antara pihak-pihak yang diduga tim sukses atau simpatisan dan menurut saya sudah masuk pada kategori kampanye hitam. Ditambah lagi dengan metode penyampaian yang sudah tidak menghargai etika sopan santun sebagai orang Alor yang telah tertanam kuat naluri persaudaraan selama ini bahkan Alor dianugerahi “Harmony Award” oleh Pemerintah RI. Hampir semua yang saling serang merupakan orang-orang berpendidikan atau dalam bahasa sosial di Alor disebut “Orang Mengerti” tetapi pendidikan formal yang tinggi ternyata tak menjamin seseorang memakai etika dalam berkampanye. Bisa teridentifikasi antara tua dan muda saling mencela tak mengenal umur, yang tua tak tahu diri sementara yang mudah tak menghargai yang tua. Semua ini jika bercampur baur dengan kemasan kampanye hitam maka lengkaplah sudah proses pengrusakan kualitas berdemokrasi di Alor. Ada yang mengatakan bahwa gesekan itu biasa saja dalam dunia politik, namun tentu fitnah diakui sangat kejam merobek-robek tenunan persaudaraan di Alor hanya karena kepentingan pragmatis sesaat. Etika berpolitik yang terinspirasi dari jati diri nenek moyang orang Alor harus tetap dijaga jika tidak maka kemenangan yang diperoleh tak berkah dan kekalahan yang diperoleh dianggap sebagai musibah politik.
Jika dilihat dari aktivitas kampanye dalam kehidupan nyata, masih terasa dengan saluran “mulutgram”, rupanya hal ini telah terprogram bahwa hari ini isu apa yang dimainkan, esok apa lagi isu yang cocok dan seterusnya hingga hari H pencoblosan. Dalam memainkan isu inilah potensi kampanye hitam dapat dilakoni para tim sukses. Kampanye hitam mulai dari menyoroti program-program yang menjadi tim sukses hingga masuk dalam sorotan adalah karakter moral para kandidat secara individual. Orang Alor biasa bertanya “Sudah sucikah orang-orang yang meneriaki moral orang lain?”. Untuk itulah maka semua yang menjadi bahan/materi kampanye jika tidak memiliki bukti otentik yang kuat maka kampanye tersebut dapat dogolongkan sebagai “Black Campaign”.
Bagaimana pun juga ada pandangan bahwa untuk memenangi pertarungan perlu disebarkan racun di segala ruang-ruang publik. Racun yang dimaksudkan adalah bisa melalui akun palsu media sosial, bisa lewat selebaran gelap, juga bisa lewat utusan-utusan yang telah ditempatkan pada simpul-simpul strategis. Dengan bermodalkan akun palsu, oknum tersebut lantas bebas beceloteh apa saja sekaligus menulis apa saja yang ia sukai. Kandidat lawan politiknya menjadi bulan-bulanan untuk dicaci. Jika sudah menggunakan akun palsu maka tentu saya berkesimpulan bahwa semuanya adalah palsu. Oknum tersebut tak menjadi dirinya sendiri dan ini bukan merupakan karakter orang Alor yang kastria. Sama halnya yang menggunakan selebaran gelap untuk menyebarkan informasi negatif tentang lawan politik juga telah menunjukkan sifat yang tidak terpuji. Mereka-mereka ini saya yakin berpotensi menjadi agen kampanye hitam dan ikut merusak bangunan demokrasi negara ini. Hal ini juga telah disinyalir oleh La Januru (2014) tentang kampanye hitam yang menyerang calon presiden di Pilpres 2014 yang lalu dengan isu-isu seperti pelanggaran HAM, isu SARA, presiden boneka, pro asing, keturunan asing dan sebagainya.
Untuk menghindari potensi melakukan kampanye hitam maka saya menyarankan kepada semua tim pemenangan beserta kandidatnya agar lebih fokus pada program-program yang telah disusun. Energi yang lebih besar harus pada kampanye program-program yang telah terakumulasi dalam visi misinya. Selanjutnya boleh fokus pada program-program kandidat lawan politik sehingga dapat mengantisipasi kelemahan lawan atau paling tidak sebagai pembanding yang ilmiah. Hal ini diharapkan perang data serta gagasan akan terjadi di sini sehingga nuansanya lebih ilmiah sekaligus dalam kerangka kekeluargaan. Saat terjadi perang data sekaligus dengan interpretasi-interpretasi yang rasional maka tentu kualitas berdemokrasi semakin baik. Kemudian jika ingin menyoroti moral individu kandidat lawan maka harus memiliki bukti otentik yang kuat. Saya sangat mendukung variabel “Integritas” menjadi satu indikator penting dalam memilih pemimpin di negeri seribu moko ini. Bagi saya, kepemimpinan adalah keteladanan sehingga lebih dahulu memberi contoh sebelum menghimbau orang lain melakukan sesuatu. Hal ini akan menentukan kualitas kepemimpinannya karena karakter yang baik akan menunjukkan kewibawaan dan daya pengaruhnya di mata rakyat. Semua harus disampaikan dengan cara-cara yang elegan bukan dengan cara-cara yang tak beradab dan berpotensi merusak hubungan kekeluargaan di antara sesama orang Alor.
Saya kira, kandidat dan tim sukses mana yang lebih mengedepankan etika dalam berpolitik akan mendapat empati dan simpati dari publik Alor. Jangan sampai serangan yang sporadis justru akan menimbulkan prasangka buruk kepada yang menyerang. Kampanye ibarat pedang bermata dua, jika tak dimanfaatkan dengan baik maka akan menjadi bumerang bagi diri sendiri dan tim dan sebaliknya jika dimanfaatkan secara efektif dan efisien maka opini publik dapat dipengaruhi untuk mendukung kandidat yang didukung. Semoga kampanye politik yang sedang terjadi di Alor dapat juga memberikan pendidikan politik bagi rakyat. Selamat Berkampanye Bapak Mama Dorang.
Mewaspadai “Black Campaign” di Pemilukada Alor
