Mahensa Express.Com, Majalah Suara Harapan. Com, Perintah kedelapan berbunyi, “Jangan mencuri.” Singkat, tetapi sangat bermakna. Di dalamnya, terkandung banyak nilai dan prinsip kebenaran firman Tuhan.
Pertama, perintah ini mengakui kepemilikan pribadi. Tanpa adanya kepemilikan pribadi, kita tidak bisa mencuri. Mencuri adalah mengambil hak milik orang lain.
Apakah Mencuri Hanya Sebatas Mengambil Barang Milik Orang Lain?
Mungkin kita berpikir bahwa mencuri hanya sebatas mengambil barang atau uang atau harta milik orang lain. Namun, wujud pencurian sebenarnya banyak sekali. Pertama, tentunya pengambilan hak milik orang lain, entah itu berlian, emas, uang, atau pensil, penghapus, kertas, dan lain-lain, yang sering kita anggap remeh. Kedua, kita bisa mencuri waktu. Jika kita dibayar untuk bekerja tiga jam, lalu dalam waktu tiga jam itu kita habiskan setengah jam untuk berleha-leha, bukankah kita sudah mencuri?
Korupsi, sudah jelas. Mungkin para koruptor kurang bisa merasa bersalah. Mereka berdalih tidak merugikan siapa-siapa. Tentunya tidak secara langsung. Koruptor e-KTP seakan-akan tidak merugikan orang lain. Namun, berapa juta orang yang harus mengantri menunggu e-KTP yang lama jadinya, sementara puluhan orang membagi-bagi uang triliunan yang telah dicuri dari negara.
Penipuan merupakan bentuk lainnya. Imperialisme modern. Tentunya hal ini menjadi perdebatan. Dahulu, penjajah dengan pedang mengambil berbagai kekayaan alam dan hasil panen dari daerah jajahannya. Sekarang ini, mereka menggunakan sistem ekonomi untuk mengeruk keuntungan dari negara-negara kaya sumber daya alam yang tidak bisa mengolah kekayaan alamnya.
Kita bahkan bisa mencuri “nama baik” seseorang. Pada intinya, mental pencuri adalah keserakahan dan kemalasan. Tak mau bekerja banting tulang, tetapi mau meraup yang sebesar-besarnya dengan mengambil milik orang lain, atau memperolehnya dengan cara-cara yang tidak benar, bahkan keji.