6. Tindakan Termohon yang menciptakan aturan sendiri serta mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang berlaku tersebut jelas terlihat dalam rangkaian perbuatan Termohon dalam menyajikan Perhitungan Kerugian Negara. Faktanya seluruh tindakan tersebut bertolak belakang dengan LHP BPK RI Perwakilan NTT.
7. Hasil pemeriksaan pekerjaan NTT Fair oleh Tim Politeknik Negeri Kupang tanggal 3 Mei 2019 hanyalah menggambarkan kekurangan volume pekerjaan yang tidak nyata dan pasti jumlah kerugian Negara.
Bahwa tindakan Termohon untuk men-de clare perhitungan kerugian keuangan Negara melalui BPKP NTT justru merupakan siasat termohon yang mestinya belum dapat diajukan karena pekerjaan Pembangunan NTT Fair belum berpotensi mengakibatkan kerugian Negara karena masih menunggu LHP BPK RI.
8. Apalagi saat itu ada beberapa jaminan, yakni 1) Jaminan sisa pekerjaan sekitar 30% masih tersimpan di Bank NTT; 2) Jaminan pelaksanaan pekerjaan sekitar 10% dari nilai kontrak ada di PT Jamkrida NTT; dan 3) Jaminan Pemeliharaan sekitar 5% dari nilai kontrak, juga masih tersimpan di PT Jamkrida NTT; 4) Jaminan berupa invoice dari 2 unit Excavator.
9. Berdasarkan UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK, Kerugian Negara didefinisikan sebagai uang, surat berharga dan barang yang nyata-nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum dan dalam hal terjadi kerugian Negara/daerah, maka perhitungan kerugian Negara/daerah secara pasti berbentuk uang atau barang yang dapat dnilai dengan uang yang harus dikembalikan kepada Negara/daerah.
10. Dalam LHP-nya, BPK RI hanya menemukan kelebihan pembayaran uang (jika dibandingkan realisasi pembayaran dengan progres fisik proyek NTT Fair yang telah dikerjakan konraktor pelaksana), denda keterlambatan dan jaminan pelaksanaan yang belum dicairkan oleh PT Jamkrida NTT.
11. Seluruh rangkaian penyidikan yang dilakukan Termohon dlam waktu singkat adalah premature dan terburu-buru sehingga tidak memiliki alasan hukum yang kuat untuk menetapkan Termohon sebagai Tersangka dan menahan Termohon. Hal itu menunjukan adanya niat (mens rea) yang salah karena belum tergambar secara konkret adanya potensi/kerugian Negara.
12. Penyelidikan dan Penyidikan tidak sah karena Penyelidikan dilakukan sebelum adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan Penyidikan dilakukan sebelum BPK RI melakukan audit rutin. Bahkan dalam masa tindak lanjut LHP BPK RI selama 60 hari, Termohon telah mengeluarkan surat Penyidikan Lanjutan, Penetapan Tersangka, Penangkapan dan PenahananTermohon.
13. Semua Keterangan /pendapat Saksi Ahli Hukum Pidana, Dr. Erdiano Effendi, SH, M.Hum yang dihadirkan Pemohon tidak terbantahkan oleh Tim Jaksa Kejati NTT. Keterangan/pendapat saksi ahli antara lain mengatakan bahwa :
(a) Putusan MK Nomor 3 Tahun 2005 yang dengan tegas menyatakan bahwa yang berhak menghitung kerugian negara adalah ahli dibidang keuangan Negara.
(b) Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) RI Nomor 4 Tahun 2016 menyatakan dengan tegas bahwa lembaga yang dapat men-de clare perhitungan kerugian Negara adalah BPK.
(c) Perhitungan kerugian Negara harus jelas dan konkret dalam bentuk angka-angka uang atau barang yang dapat dinilai dengan uang. Tidak boleh mengada-ada.
14. Penyelidikanim pemeriksa Politeknik Negeri Kupang yang merupakan ahli bangunan boleh memeriksa fisik proyek NTT Fair berkaitan dengan volume dan bestek. Namun kerugian Negara harus dihitung atau dide-clare oleh BPK/BPKP.
15. Semua saksi yang diajukan oleh Termohon ditolak oleh Hakim Tunggal Pra-Peradilan Kasus NTT Fair karena dinilai tidak independen dan berada di bawah tekanan. (MA/tim)