Apa sebenarnya yang dimaksud dengan Islam Nusantara? Pertanyaan ini mengawali diskusi Pra-Muktamar ke-33 NU di Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (22/4) petang. Para peserta diskusi yang datang dari berbagai daerah di Indonesia timur selama lebih dari dua jam diajak mengulas topik tersebut berikut turunannya.
Pada forum bertema “Islam Nusantara sebagai Islam Mutamaddin Menjadi Tipe Ideal Dunia Islam” ini panitia menghadirkan sejumlah narasumber, antara lain pakar ushul fiqh yang juga Katib Syuriah PBNU KH Afifuddin Muhajir, guru besar filologi Islam UIN Jakarta Oman Fathurrahman, sejarawan Agus Sunyoto, pakar tasawuf KH Mustafa Mas’ud, dan Prof DR Azhar Ibrahim Alwee dari National University of Singapore.
Oman yang setuju dengan istilah itu mengatakan, ada kesalahpahaman ketika sejumlah orang menolak pelabelan “Nusantara” terhadap Islam. Menurut mereka, Islam adalah Islam, tak perlu labelisasi.
“Padahal yang kita maksud bukan Islam yang normatif tapi Islam empirik yang terindegenisasi,” katanya. “Oleh kerena itu kita mencoba merumuskan sebuah kalimat, Islam Nusantara itu adalah Islam Nusantara yang empirik dan distingtif sebagai hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi, penerjemahan, vernakularisasi Islam universal dengan realitas sosial, budaya, dan sastra di Indonesia,” imbuhnya.
Menurut Oman, Islam Nusantara ada namun minim data thabaqat (biografi) yang komprehensif para tokoh muslim Nusantara setidaknya sejak abad ke-16. Hal ini berbeda dari fakta yang ada di Arab dan Persia, yang mengakibatkan bangunan sejarah keduanya sangat kokoh lantaran kekayaan sumber literasi tentang itu.
Sementara Kiai Afif yang menyoroti Islam Nusantara dari sudut pandang fiqih mengatakan, istilah “Islam Nusantara” memang agak ganjil didengar lantaran Islam memang sumbernya satu dan bersifat ilahiyah. Tapi, katanya, harus diperhatikan bahwa Islam juga terealisasi dalam praktik keseharian. Artinya, selain ilahiyah, Islam juga bersifat insaniyah (manusiawi).
Karena itu, Kiai Afif menilai jika ada Islam Nusantara maka ada juga fiqih Nusantara. “Fiqih Nusantara adalah paham dan prespektif keislaman di bumi Nusantara sebagai hasil dialektika teks-teks syariat dan budaya, juga realitas di (daerah) setempat,” papar pengarang kitab Fathul Mujib al-Qarib ini.