Suasana winter solstice 2016
Nah, ketika kekristenan disebarkan ke seluruh kekaisaran Romawi, para pemberita injil dan penulis Kristen, sebagai suatu taktik kontekstualisasi misiologis mereka, mengambil alih gelar Sol Invictus dan mengenakan gelar ini kepada Yesus Kristus sehingga Yesus Kristus menjadi Sang Matahari Tak Terkalahkan yang sebenarnya. Sebagai landasan-landasan skriptural untuk menjadikan Yesus Kristus sebagai Sol Invictus yang sebenarnya, mereka memakai sejumlah teks pendukung, berikut ini:
Mazmur 19:5c-6 (“Dia memasang kemah di langit untuk Matahari yang keluar bagaikan Pengantin laki-laki yang keluar dari kamarnya, girang bagaikan pahlawan yang hendak melakukan perjalanannya.”)
Maleakhi 4:2 (“… bagimu akan terbit Surya Kebenaran dengan kesembuhan pada sayapnya.”)
Lukas 1:78-19 (“Oleh rakhmat dan belas kasihan Allah kita, dengan mana Dia akan melawat kita, Surya Pagi dari tempat yang tinggi.”)
Dengan jadinya Yesus Kristus sebagai Sol Invictus baru, maka tanggal 25 Desember sebagai hari natal Dewa Sol juga dijadikan hari Natal Yesus Kristus. Seorang penulis Kristen perdana, Cyprianus, menyatakan, “Oh, betapa ajaibnya: Allah Sang Penjaga, Pemelihara dan Penyelenggara telah menjadikan Hari Kelahiran Matahari sebagai hari di mana Yesus Kristus harus dilahirkan.” Demikian juga, Yohanes Krisostomus, dalam khotbahnya di Antikohia pada 20 Desember 386 (atau 388), menyatakan, “Mereka menyebutnya sebagai ‘hari natal Dia Yang Tak Terkalahkan’. Siapakah yang sesungguhnya tidak terkalahkan, selain Tuhan kita…?”
Bayi Yesus dilahirkan . . .
Tentu anda sudah tahu siapa Kaisar Konstantinus Agung (272-337). Dialah Kaisar Romawi yang pindah agama, masuk Kristen, karena pertimbangan-pertimbangan politis strategis murni. Sebuah mitos telah disusun (oleh Eusebius) untuk menjelaskan mengapa dia pindah agama.
Menurut mitos ini, pada 28 Oktober 312 Konstantinus melihat di awan-awan sebuah tanda salib (atau gabungan dua huruf Yunani Khi dan Rho, yang menyimbolkan nama Kristus) dan sebuah kalimat In Hoc Signo Vinces (= “Dengan tanda ini, kamu menang”). Visi ini dijadikan landasan mengapa dia menjadi Kristen, yakni karena Yesus Kristus menghendakinya supaya semua kampanye militernya berhasil gemilang. Dengan mitos ini, pengkristenan atas diri sang Kaisar dan atas seluruh kekaisaran Romawi diberi legitimasi ilahi.
Nah, pada masa Konstantinus Agung memerintah Kekaisaran Romawi (306-337), perayaan keagamaan yang memuja Sol Invictus pada 25 Desember diubah dengan resmi menjadi perayaan keagamaan untuk merayakan hari Natal Yesus Kristus. Dengan digantinya Dewa Sol dengan Yesus Kristus sebagai Sol Invictus yang sejati, dan tanggal 25 Desember sebagai hari Natal Yesus Kristus, sang Kaisar, lewat strategi religio-politiknya, berhasil mengonsolidasi dan mempersatukan seluruh wilayah negara Roma yang di dalamnya warga yang terbesar jumlahnya adalah orang Kristen, yang, menurut Eusebius, adalah warga “Gereja Katolik yang sah dan paling kudus” (Eusebius, Historia Ecclesiastica 10.6).
Ketika lewat dekrit Paus Gregorianus XIII (tanggal 24 Februari 1582) kalender Gregorianus ditetapkan untuk menggantikan kalender Julianus, tanggal 25 Desember tetap dipertahankan sebagai hari kelahiran Yesus Kristus karena yang dipentingkan adalah makna simbolik tanggal ini, ketimbang ketepatannya.
Dan sejak Kaisar Konstantinus Agung berkuasa, para uskup/paus sama-sama mengendalikan seluruh kekaisaran Roma di samping sang Kaisar sendiri; ini melahirkan apa yang disebut Kaisaropapisme.
Kalau sebelumnya heliolatri menempatkan Dewa Sol sebagai Kepala Panteon yang menguasai seluruh dewa-dewi yang disembah dalam seluruh negara Romawi dan sebagai pusat kekuasaan politik, maka ketika Yesus Kristus sudah menjadi Sol Invictus pengganti, sang Kristus inipun mulai digambarkan sebagai sang Penguasa segalanya (= Pantokrator), yang telah menjadi sang Pemenang (= Kristus Viktor) di dalam seluruh kekaisaran Romawi.
Sekarang jelaslah sudah bagi anda bahwa tanggal 25 Desember bukanlah hari kelahiran Yesus yang sebenarnya. Hal ini tak perlu anda ragukan lagi. Kalau anda tidak mau menerima fakta ini, ya tak apa-apa. Biar saja.
Seperti telah dinyatakan pada awal tulisan ini, kembali perlu ditekankan bahwa sesungguhnya tidak ada seorang pun di dunia pada zaman kuno dan pada masa kini yang mengetahui kapan persisnya Yesus dari Nazareth dilahirkan. Ibunya pun, Bunda Maria, sangat mungkin tidak mengenal kalender.
Ketika Yesus baru dilahirkan, dia bukanlah seorang penting apapun. Hanya beberapa orang saja yang mempedulikannya. Hanya ketika dia sudah diangkat menjadi sang Kristus gereja dan dipercaya sebagai sang Juruselamat dunia, dia baru menjadi penting dan kisah-kisah hebat tentang kelahirannya pun disusun.
Pada zaman gereja awal dulu, orang tidak sepakat kapan persisnya Yesus dilahirkan, meskipun berbagai cara penghitungan telah diajukan; dan juga orang tidak selalu sependapat bahwa hari kelahiran Yesus Kristus perlu dirayakan.
Siapapun, dengan suatu pertimbangan teologis kultural, pada masa kini dapat menetapkan sendiri hari Natal Yesus Kristus buat dirinya dan buat komunitas gerejanya, tidak harus tanggal 25 Desember. Herannya, gereja-gereja sering meributkan ihwal apakah boleh merayakan Natal sebelum atau malah sesudah 25 Desember. Saya ya santai saja. Lah, bagi saya, Natal itu, pencerahan akal budi dan batin, dan dunia ini, ya panggilan dan tugas setiap hari, bagi semua orang, sekarang dalam dunia anda masing-masing.
Kekuatan kekristenan sesungguhnya terletak di situ: Yesus dijadikan sosok orang dalam, menjadi Yesus-Yesus lokal, bukan satu sosok tunggal impor yang asing dan aneh dari negeri dan zaman yang jauh di masa lampau.
Yesus tidak diperlakukan sebagai satu sosok purba yang sudah mati, yang ditempatkan dalam suatu museum benda-benda purba. Tapi Yesus dihadirkan dan dirayakan dalam masyarakat kekinian lewat seni dan budaya serta kearifan lokal. Dus, Yesus menjadi Tuhan yang hidup, kini dan di tempat anda, the living Lord, dan di dalam doa-doa umat. Inilah menyusun kristologi lewat wadah kesenian, kebudayaan dan spiritualitas kontemporer. Penuh simbol dan metafora yang menggerakkan hati dan kehidupan. Ini menimbulkan rasa gembira, sukacita, gairah kehidupan, keriangan, nyanyian yang tak pernah habis disusun, lukisan dan patung yang selalu diciptakan dan dipahat terus.
Kekristenan tidak memusuhi dunia seni dan budaya; tetapi justru masuk dan memakai dunia ini untuk membuat satu sosok Yesus zaman dulu yang lahir di negeri Yahudi menjadi banyak sosok Yesus kultural masa kini yang lahir di tempat-tempat yang berbeda.
Ribuan lukisan kreatif wajah-wajah Yesus lokal tersebar di seluruh dunia, sejalan dengan keanekaragaman kebudayaan yang di dalamnya berbagai corak kekristenan menjelmakan diri…. Orang yang membenci kreasi seni dan kreasi budaya, hidup mereka pasti tandus, stres, pemarah, dan sepi tawa.
Sebetulnya, cara merayakan Natal Yesus Kristus yang sebenarnya dan yang bermakna adalah dengan menjelmakan kembali dirinya, terutama belarasanya, kepedulian dan cinta kasih dan empatinya terhadap rakyat jelata yang miskin dan tertindas, dalam seluruh gerak kehidupan orang yang menjadi para pengikutnya di masa kini.
Perayaan Natal pada masa kini di gereja-gereja kota-kota besar Indonesia, yang menghabiskan dana ratusan juta sampai milyaran rupiah, sama sekali bukan perayaan Natal yang sebenarnya, dan yang hadir di situ bukan Tuhan Yesus dari Nazareth, tetapi Tuan Adam Smith. Ini peringatan saya yang serius.
Sejak Martin Luther di Jerman abad ke-16, perayaan Natal 25 Desember mulai dimeriahkan oleh berbagai kelengkapan dekoratif, seperti pohon Natal yang dihiasi dengan lampu-lampu gemerlap dan pernak-pernik pemerindah lain. Sebetulnya, tradisi pemaknaan pohon cemara yang selalu hijau sebagai simbol keabadian sudah ada di kalangan bangsa-bangsa di Skandinavia ketika hari-hari titik balik Matahari atau winter solstice tiba.
Catat ya hal penting ini. Ketika perayaan-perayaan Natal oleh gereja-gereja kaya di Indonesia berubah menjadi kegiatan-kegiatan extravaganza, Yesus Kristus malah memilih berada di antara para pemulung, buruh tani, pedagang asongan, orang-orang yang kebanjiran, para difabel (atau “manusia dengan kemampuan lain”), anak-anak yatim-piatu, para tunawisma, insan-insan gerobak, dan semua orang miskin dan tertindas lainnya, di luar gedung gereja-gereja itu.
Kalau pun Yesus yang sedang berdiri di luar gedung-gedung perayaan Natal besar-besaran memutuskan untuk masuk ke dalam, dia sesampainya di dalam akan dicurigai umat sebagai sosok yang mau berbuat jahat.
Dan Majelis Ulama Indonesia, MUI, kumpulan para sarjana Muslim di Indonesia, juga perlu diberitahu untuk jangan terlalu serius dengan tanggal 25 Desember,/3/ sebab tanggal ini bukanlah tanggal kelahiran Yesus yang sebenarnya, tetapi bermakna simbolik sebagai hari pencerahan dunia, hari sang Matahari bangkit lagi untuk menerangi seisi dunia.
Sebagai himpunan para sarjana, himpunan orang-orang beragama yang terpelajar dan cerdas, MUI tentunya mendukung pencerahan dunia. Bukan hanya mendukung, tapi juga bersama-sama ikut mencerahkan dunia, dan selamanya pantang menggelapkannya. Bukankah Islam itu juga sebuah agama yang bertugas untuk membawa umat meninggalkan zaman jahiliyah, zaman kegelapan, lalu masuk ke zaman pencerahan?
Mungkin anda mau bertanya pada saya, apakah saya merayakan hari Natal 25 Desember setiap tahun. Ya, saya merayakan Natal, tetapi tidak hanya pada 25 Desember, tetapi setiap hari. Karena Natal bagi saya adalah perayaan pencerahan dunia, saya merayakannya setiap hari dengan membaca buku-buku bermutu yang membantu saya tercerahkan.
Setelah saya tercerahkan lebih dulu, maka selanjutnya saya membuat tulisan-tulisan dan menulis buku-buku untuk melalui semua karya tulis saya, saya ikut mencerahkan masyarakat dan dunia, setidaknya masyarakat Indonesia. Itulah makna Natal bagi saya. Bagus, bukan? Saya ingin Yesus Kristus terus-menerus lahir kembali lewat seluruh pikiran dan tindakan saya, seumur kehidupan saya, tidak hanya pada 25 Desember.
Oh ya, ini satu catatan terakhir. Fisikawan dan matematikus besar kebangsaan Inggris, Sir Isaac Newton, dilahirkan 25 Desember 1642 (wafat 20 Maret 1727). So, happy birthday, Sir Newton. Gaudeamus igitur. Let us rejoice. Be happy. We all are proud of you. None worships you, but your science is eternal.
Pada 14 Desember 2016, kembali MUI mengeluarkan fatwa nomor 56 tahun 2016 yang isinya mengharamkan atau melarang umat Muslim Indonesia menggunakan atribut-atribut keagamaan non-Muslim pada saat Natal.
Alhasil, kontroversi pun muncul lagi, antara lain berkaitan dengan ihwal apa yang dimaksud dengan kata “atribut”, ihwal apakah agama Islam sama sekali tidak meminjam dan memasukkan elemen-elemen atau atribut-atribut keagamaan dari agama-agama yang sudah lahir sebelum Islam, dan ihwal apakah ormas-ormas yang mau melaksanakan fatwa ini berhak melakukan sweeping atau mengganggu aktivitas bisnis dalam musim Natal di pusat-pusat perbelanjaan di kota-kota.
Musim budaya global Natal yang sebetulnya berisi kegembiraan, kedamaian dan kesederhanaan berubah menjadi musim yang penuh kegamangan, keributan dan kerumitan.
Efraim Lamma Koly
Ketua GMKI Kalabahi 2008-22010. (Berbagai Sumber)